[Oneshot] Just One Day


Title: Just One Day || Author: AnisMaria || Casts: Jeon Jungkook (BTS) ft. Min Rara (original character/you), Kim Taehyung (BTS), Slight!Jimin (BTS) || Genre: Romance, Angst || Rate: Teen || Length: 3.000+ words



.

.

.
“Hanya sehari saja, biarkan aku menggenggam tanganmu.”


.

.

.
_______

Akhir musim semi, 2014

Seorang Min Rara tidak pernah jatuh sedalam ini sebelumnya. Min Rara adalah gadis tertutup, tidak memiliki banyak teman, selalu menyendiri di sudut perpustakaan untuk memperkaya pengetahuan, dan tidak banyak yang mengetahui bagaimana kisah cintanya. Semacam jarum yang terus menari-nari bertemankan hanya dengan benang sulam di atas kain takdirnya, ia pun terus hidup dengan bertemankan kesendirian serta ketertutupannya. Dan juga, hidup dengan perasaannya yang terus bertambah untuk pemuda itu. Pemuda itu—pemuda yang selalu bersitatap dengan intan kelamnya tatkala sosok bersurai cokelat itu diseret paksa oleh sekumpulan murid sok kuat.

Ia jatuh cinta, walau semua itu hanya mampu dirasakan olehnya. Ia telah jatuh pada pesona polosnya, kendati pendar afeksi tersebut hanya mampu ia pancarkan melalui manik hitamnya yang selalu bertumburan dengan kelereng cokelat itu.

Selalu, setiap hari ia akan datang setelah para penguasa kelas itu puas bermain-main dengan Jeon Jungkook; menyeka peluhnya, mengoleskan cairan antiseptik dari kotak obat bawaannya pada robekan bibir merah muda pemuda itu. Ya, pemuda itu—pemuda bernama Jeon Jungkook itu.

Tanpa ada satu pun kata terucap, keduanya telah menjalin pertemanan. Kendati hanya dalam keheningan.

Sampai tiba pada hari itu. Sebuah badai yang datang pada ujung musim dingin nan hangat. Sekelompok murid nakal yang selalu memalak uang saku pas-pasan Jungkook dan berakhir menyisakan satu rembasan darah keluar dari porinya yang sempit. Mereka menemukan Rara, dan turut jua menyabotase uang saku gadis itu yang didapatkannya dari bekerja sambilan di toko roti. Rara tak pernah menyesal. Hingga badai yang sesungguhnya datang menyusul setelah datang topan pertama.

“Rara-ssi, kumohon padamu … mulai sekarang kau tidak perlu lagi berurusan denganku.” Bibir merah mudanya berkata, untuk pertama kali dalam sejarah pertemanan hening mereka berdua. “Aku semakin kewalahan menghadapi mereka, sebaiknya kau tidak usah mempersulit dan semakin merepotkanku.”

Lalu Jungkook pergi, dengan langkah gontainya yang membuat jalannya terseok ke kanan dan kiri. Bertetes darah tertinggal di belakang sepeninggalnya ia dari tempatnya berpijak. Langkahnya berlanjut, meninggalkan Min Rara yang termangu di tempatnya dengan tatap mata pilu menggores paras manisnya yang terluka—terluka sebanyak sang pemberi sendiri.

‘Ya, Jungkook. Seharusnya aku hanya memandangmu saja—dari jauh. Karena dengan begitu, kau tidak akan menolakku seperti ini, Lelaki Pertamaku.’

.

.

.

.

Musim dingin, 2021

Pria berjas putih simbol kebanggaannya itu melangkah dengan diekori oleh seorang asisten pribadi di sisi kiri. Sesekali kepalanya memutar ke samping, memandang wajah gadis pintar yang tengah menjelaskan beberapa hal kepadanya. Tak jarang pula ia tampak mengangguk, lalu sering pula tercengang entah karena apa.

“Jadi, Seonsaeng-nim, setelah ini kita akan—”

“Pergi mengecek pasien gila di ujung lorong itu,” potong pria berjas putih sambil terus berjalan, tak mengindahkan kerucutan di bibir sang asisten yang selama enam bulan ini berada di sisinya—bekerja padanya.

Seonsaeng-nim, kau tidak bisa mengatainya seperti itu sementara kau adalah—”

Lelaki berjas itu menghentikan jalannya, yang otomatis diikuti oleh seseorang di sebelah kiri. “Asisten Min, kumohon berhentilah cerewet. Dia tidak dengar apa pun. Lagipula, laki-laki waras mana yang bersedia meminum racun serangga hanya karena ditolak oleh wanita kecintaannya, hah?”

“Tapi, meskipun begitu—” Gadis itu langsung menghentikan protesannya di saat kaki dokter muda itu kembali melangkah. Sekelebat visualisasi dari masa yang pernah dilaluinya berkelebat di ujung mata. Sekeras apa pun ia berusaha untuk mengabaikannya, kilasan itu tetaplah akan selalu tampak. Ia terdiam, lantas terus berjalan guna menyeimbangkan dengan langkah sang dokter yang telah menemukan kamar terakhir di lorong tempat mereka berkonversasi barusan.

Pintu warna putih itu terkuak, dan gadis itu masih ada di belakangnya. Tampak sesosok wajah kusam menyapa ruang pandangnya ketika ia mengarahkan fokus pada objek menyedihkan di atas ranjang rawat.

“Kalau kau bukan temanku, Jimin, aku benar-benar sudah membedahmu di ruang operasi dan berakhir di kamar mayat!” frontal dokter muda itu seraya mencubit perut sang pasien yang meringis disertai tawa bodoh di tempatnya berbaring.

“Kau, ‘kan, bukan manusia. Kau tidak akan mengerti patah hati itu rasanya sesakit apa,” elak lelaki yang mengenakan piama rumah sakit warna azure. Tatapannya bergulir pada sosok bersurai kelam di sisi kiri sang dokter. “Benar, ‘kan?”

Di tempatnya, gadis itu gelagapan. Tanpa perlu menjawab, ia hanya menanggapi dengan seulas senyum tipis penuh respek—sebagai asisten dokter kepada pasiennya—lantas mengecek kantung infus dan menuliskan sesuatu di papan berjalannya yang ia bawa sejak tadi.

“Jangan tanya pada Rara, dia buta soal cinta.” Dokter muda itu berujar dingin sambil mengecek dada Jimin menggunakan stetoskop. “Hidupnya hanya dihabiskan untuk belajar, jadi jangan tanya soal patah hati padanya. Jatuh cinta saja belum pernah,” lanjutnya sok tahu bersama wajah semeyakinkan mungkin.

Selanjutnya lelaki bernama Jimin yang hari ini menjadi pasien dokter muda itu terdiam dengan mulut terkatup. Diliriknya asisten yang telah siap dengan tulisan-tulisan yang akan dilaporkan pada dokter ‘idiot’ yang merupakan sahabat Jimin sejak sekolah menengah atas.

“Aku ada jadwal konsultasi dengan pasien pribadiku, jadi jangan berlaku aneh-aneh di sini kalau tidak ingin berakhir di tanganku!” ancam dokter muda itu seraya balik kanan dengan mantap dan meninggalkan pasiennya kembali merasa kesepian. Asistennya mengekori dari belakang, dan menyempatkan diri membungkuk pada Jimin kemudian menutup pintu.

Gadis yang dipanggil Rara itu menjajari langkah dokternya. “Seonsaeng-nim, kau ada jadwal? Kenapa tidak bilang padaku? Kalau aku tahu permasalahannya, mungkin saja aku bisa mem—”

“Kau hanya mengasisteniku di ruang operasi dan ketika berkeliling saja, Min Rara. Kali ini aku tidak bisa menyerahkannya padamu. Pasien ini sudah bertahun-tahun konsultasi denganku untuk penyakit bertumpuknya dan tidak bisa sembarangan dalam segala sesuatunya.”

“Penyakit bertumpuk?” Kening Rara mengerut, heran. “Aku tidak pernah mendengar istilah itu sebelumnya.”

“Itu istilah yang kukarang sendiri,” sahut dokter muda tersebut secara acuh, mengabaikan tawa tersedak sang asisten di sisi kanannya. “Semacam satu tubuh memilki banyak penyakit. Dia sudah kusarankan untuk operasi mengenai penyakit kanker-nya, tapi dia bilang, dia tidak punya biaya. Hahh, aku tahu saja dia tidak mau dioperasi karena pesimis bisa sembuh.”

“Mengapa seperti itu?” tanya Rara setelah wajahnya kembali serius, mulai tertarik.

Tolehan dilayangkan oleh sang dokter yang kemudian matanya memicing remeh pada gadis kurus itu. “Penyakit kanker-nya itu diturunkan dari mendiang ayahnya, Asisten Min. Ayahnya meninggal ketika dia belum lahir karena penyakit yang sama, itulah kenapa dia bilang dia tidak bisa menikah karena takut meninggalkan wanita yang dicintainya. Apalagi, jika memiliki anak, anaknya juga akan memiliki penyakit yang sama seperti dia. Dan dia juga tidak mau operasi karena kulitnya kelewat sensitif. Jadi selama ini, aku hanya menyarankan obat pereda sakit dan juga untuk jaga-jaga, melakukan kemoter—tunggu, kenapa aku tiba-tiba membicarakan hal ini padamu? Tidak seharusnya kau mendengarnya; ini rahasia antara dokter dan pasiennya!”

“Aku juga tidak meminta penjelasan selebar itu, Kim Taehyung Euisa-nim!” balas Min Rara cuek seraya menatap mata dokternya dan lantas menggulir bola matanya ke bawah. Kaki-kaki kurusnya kembali melangkah dengan santai saat ‘dokter labil’ itu kembali berjalan tanpa memedulikan bahwa ia baru saja dibantah oleh bawahannya.

Dokter muda bernama Kim Taehyung itu memang seperti itu. Menyebalkan. Tetapi Min Rara berhutang banyak padanya. Kalau bukan karena dirinya, mungkin Rara sekarang masih jadi pegawai magang rumah sakit itu. Kalau bukan karena pribadinya yang suka bicara selicin belut, barangkali Rara tidak akan menjadi seseorang yang berani mengungguli perkataan orang lain—seperti di masa lalu. Bekerja bersama Taehyung membuat Rara berubah banyak, terlebih pada perkembangan kepribadiannya dimana sekarang ia memiliki sediki kepercayaan diri terhadap kemampuannya.

Bekerja selama setengah tahun bersama Kim Taehyung membuatnya menjadi berbeda dari Min Rara di bertahun-tahun lalu, di masa yang telah melata.

Lengkungan oposisi kurva pelangi tercetak di bibir kecil Rara. Tangannya mendekap papan berjalan di dadanya. Tanpa sadar kakinya melangkah, terus mengekori langkah Taehyung yang semakin cepat setiap detiknya. Kendati jarum detik konstan bertransisi dengan irama yang sehati, tetapi jantung Rara tidak berdetak selayaknya biasanya.

Dalam ketenangan senyum di paras ayunya, terselip kegelisahan yang terpeta dengan goresan tipis di sana.

Hei, setelah menaruh catatan di mejaku, kau temani pasien perempuan yang kemarin kehilangan bayinya itu, ya. Ini perintah.”

Pintu berpelitur cokelat mengilap terbuka, menampilkan segala objek yang ada di baliknya. Seorang lelaki berdiri dari kursinya. Tak ayal sosoknya memantul pada kedua cermin jernih di mata hitam Rara. Mata berhiaskan intan kelam gadis itu membulat menatap refleksi nyata di depan mata. Membuat sistem respirasinya bak tersendat. Dia … yah, itu adalah dia. Seorang pria dengan manik cokelat yang masih tersimpan rapi dalam memori, kendati sosoknya telah jauh tertinggal pada titik awal tempatnya memacu langkah. Walau mungkin saja eksistensinya telah berdebu di ruang hati terdalam.

Ya, seandainya saja pria kurus nan pucat itu bukanlah dirinya—

Min Rara menelan ludah di saat matanya tak mampu untuk sekadar mengerjap saja.

—dan sayangnya itu adalah ‘dia’.

“Kenapa? Kau pernah mengenal gadis ini, Kook?” Taehyung bertanya tidak mengerti dari kursinya, matanya menatap heran pada dua sosok manusia berbeda jenis tengah saling melempar tatap dari spot tempat mereka berdiri masing-masing; dan dalam keheningan. “Setahuku hanya ada satu orang gadis yang pernah kaukenal dan kauceritakan padaku, ‘kan? Gadis yang kaupikirkan lebih dari penyakitmu sendiri? Tidak mungkin kau mau repot-repot mengingat orang kalau itu bukan dia.”

Angin sendu yang datang dari ventilasi ruang kerja Taehyung menerpa wajah dua di antara tiga insan di sana. Lelaki berjulukan ‘dokter labil’ itu masih tidak mengerti apa yang salah dari mereka berdua. Tapi dari sorot mata keduanya, tampaknya, tanpa perlu diungkapkan dengan deretan kata yang membentuk kalimat aneh dari mulutnya pun ia sudah mengerti apa yang terjadi.

Pelan sekali embusan napas terdengar. Seperti sebuah tanaman sekarat yang nyaris tumbang terkena kecup angin musim gugur. Kelopak tirai bertahtakan permata cokelat pemuda pucat itu mengerjap dan fokusnya kembali berporos pada satu-satunya makhluk wanita dalam ruangan.

“Ya, Kim Euisa-nim. Kurasa, aku memang pernah mengenalnya; itulah kenapa aku masih mengingatnya sampai sekarang.”

.

.

.

.

Dinginnya tiupan napas musim dingin yang membekas di badan kurusnya tak Rara hiraukan sama sekali. Ia memeluk lengannya sendiri, lalu menggigiti bibirnya yang mulai memucat. Setelah sekian kali menanti jawaban dan tak mendapatkannya, tangannya tak bisa untuk tak mengetuk daun pintu warna krem itu berkali-kali; terdengar tidak sabar.

Rambutnya yang dengan sengaja digerai untuk menambah intensitas kehangatan pada tubuh bagian atasnya telah menyibak karena ia mulai menggigil.

Tidak menyerah, dan ia akan terus berada di sana.

‘Dasar gadis bodoh! Apa yang kaulakukan selama ini dengan diam saja? Dia sudah menahan perasaannya demi melindungimu—karena kalau tidak, mungkin akan dengan egoisnya dia menikahimu sejak lama dan membiarkanmu gila karena kehilangan dia. Cih! Jika saja aku tahu kalau ‘orang itu’ adalah kau, sudah barang tentu tidak akan seperti ini kejadiannya. Cepat pergi dan kejar dia, genggam tangannya, sebelum kau benar-benar kehilangan dia untuk selamanya. Dan jika itu terjadi, maka selain memecatmu aku juga akan membunuhmu, Asisten Min!’

Terngiang-ngiang dalam ruang dengarnya, sebuah suara yang terekam sejak tiga hari lalu—yang juga menyebabkannya harus bolos kerja sampai dengan hari ini. Taehyung menyemburkan amarah kepadanya, mengatainya bodoh dan—kalau saja ia bukan seorang wanita—mungkin Taehyung tak akan ragu untuk memukul kepalanya. Setelah pertemuan tak sengaja—atau mungkin suratan takdir telah menggoreskan tintanya sedemikian rupa?—di ruangan dokternya dua minggu lalu, hal yang Rara lakukan adalah berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa. Ia tidak ingin mengingat lelaki itu lagi, mengingat cinta dan rasa sakitnya tatkala harus merasakan yang namanya ‘diusir’ di saat pertama lelaki pemilik hatinya itu berkonversasi dengannya.

Min Rara sudah berusaha untuk terus melupakannya. Sampai akhirnya ia pun turut jua melupakan sebuah kenyataan bahwa pasien yang dimaksudkan oleh Taehyung adalah Jeon Jungkook—cinta pertamanya, lelaki pertama yang memiliki hatinya, sosok yang merebut seluruh hati dan pikirannya, dan juga insan pertama yang membuatnya merasakan sebuah perasaan hancur karena cinta yang tak bersambut. Ya, kenyataannya, Rara telah menanamkan keyakinan bahwa sejak dulu Jungkook memang tak pernah mencintainya. Sayangnya, ia telah salah.

Dan sekarang, ia salah lagi. Karena setelah berhasil mengumpulkan kesadaran pikirnya; untuk menyadari bahwa alasan Jungkook menolaknya adalah guna melindunginya—melindungi hatinya, ia justru tidak datang. Gadis itu mengabaikan rasa sakit terus merongrong dalam jiwanya yang tertekan oleh beban teramat berat. Rara hanya takut, bila ia bertemu dengannya lagi, maka ia akan kembali pada Min Rara tujuh tahun lalu; yang lugu, yang mudah menangis, yang memiliki banyak rasa iba dan tak sanggup berdiri dengan kepercayaan diri. Ia takut pertemuannya dengan Jungkook menjelang detik-detik terakhirnya menghirup napas di dunia, akan membuatnya kembali menjadi Rara yang lemah. Sampai akhirnya, teguran Kim Taehyung berhasil menyadarkannya, bahwa selemah apa pun, ia tetap harus ada di sisinya, menguatkannya, dan merasakan detak jantung terakhirnya sebelum pemuda itu benar-benar ‘pergi’.

Maka di sinilah Min Rara sekarang, berdiri sendiri memeluk kesunyian yang menyapa di ujung pandang. Menunggu saat dimana pintu itu terbuka dan menampilkan sesosok pemuda dengan balutan pakaian kedodoran, bibir pucat membiru, kepala tanpa surai cokelat khasnya, dan duduk di atas kursi roda sembari memutar kenop pintu apartemen sederhananya.

“Rara-ssi?”

Mata Rara merebak basah ketika ia langsung menerobos masuk seraya menerjang lelaki itu untuk didekapnya. Ia tumpahkan seluruh air matanya di bahu ringkih pemuda bermarga Jeon. Begitu terlepas, dan mata basahnya berbenturan dengan mata sayu—namun masih konstan memikat—Jungkook, tangannya terangkat dan memukul pelan dada Jungkook; pelan, kendati dilakukannya berulang-ulang.

“Kau jahat! Kau jahat! Kenapa kau merahasiakannya dariku selama ini? Kenapa kau tidak pernah muncul dan baru datang setelah kau akan meninggalkanku? Kenapa kau tidak memintaku untuk menjaga dan merawatmu? Kenapa?!!”

Dua buah tangan kuyu mencekal pergelangan tangan Rara yang terus bertahan untuk memukul-mukulnya. Lelaki itu masih tampan, walau sedikit lebih mirip dengan vampir yang sedang menyamar di antara kerumunan manusia berdarah istimewa—menahan namun tak dapat berbuat apa-apa. Saat jemari itu berhasil menyelimuti tangan si gadis dan menghentikan pergerakannya, satu lengkung senyuman tercipta.

‘Senyuman itu … sangat indah. Akankah ini adalah terakhir kalinya aku melihat senyuman itu di wajah Jungkook? Tidak bisakah aku menyaksikannya sedikit lebih lama? Aku merindukannya—sangat rindu. Dan tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar.’

“Jangan menangis,” pinta lelaki itu dengan suara tenornya yang telah melemah. Senyumnya masih terpatri di sana, kendati kesenduan masih mengentali air mukanya.  “Aku tidak ingin kau menangis terlalu banyak.”

“Bodoh!” kata Rara yang masih berjongkok di hadapan kursi roda Jungkook.

Dua ibu jari Jungkook ia gerakkan untuk mengusap aliran pola absrak yang menghias pipi mulus Rara. Setelahnya, satu telapak tangan digunakannya untuk mengelus surai kelam gadis itu yang selalu tampak indah bila bertemu pancaran mentari di siang hari pada musim panas; Jungkook menghitung sebarapa banyak keindahan itu tetap tersemat di sana. Ini adalah pertama kalinya mereka berinteraksi secara intim—selain daripada kebaikan-kebaikan Rara di masa lalu yang selalu mengusapkan cairan antiseptik pada luka di wajah Jungkook akibat pembulian yang diterimanya.

Senyumya tidak semelengkung pada awalnya, namun ketulusan yang terpancar bersamaan dengan kesenduan pada dua bening matanya tetaplah bertahan di tempat.

 “Waktuku tidak banyak, itu bisa nanti, atau esok, atau lusa … atau mungkin saat ini—”

“Jangan bicara begitu, Jungkook! Aku tidak mau dengar—”

“—dan yang kuinginkan adalah kau tidak perlu tahu hal ini.” Lelaki yang kini berkepala pelontos itu memotong perkataan gadis di hadapan, sengaja tak memberinya kesempatan untuk bicara karena ia tahu bahwa kata-katanya hanya akan menyakiti gadis itu sendiri; karena ia tahu bahwa ia tidak mungkin akan bertahan untuk tetap berada di bawah langit yang sama—bersamanya. “Mungkin akan lebih baik jika kau membenciku. Aku tahu sesakit apa rasanya kehilangan. Ayahku pergi di saat aku belum menginjakkan kakiku pada bumi ini dan melihat terangnya matahari. Ibuku meninggal tidak lama setelah aku lulus dari kuliah. Aku tahu rasanya akan sesakit itu—dan aku tidak ingin kau juga merasakannya, Lara-ya.”

Dari satu yang menggenang hingga menjadi banyak dan menganaksungai, pada akhirnya air mata Rara tumpah kembali bak air bah menjebol bendungan. Ia takut mendengar kenyataan tentang sakitnya kehilangan, perihnya ditinggal untuk selamanya. Tetapi ia lebih merasa tertusuk dan terluka setelah mendengar nama kecil yang tidak pernah digunakan lelaki itu untuk menyebut namanya. Hanya satu kali Jungkook memanggilnya dan itupun menggunakan surfiks cukup formal meski kenyataannya mereka seumuran dan ada di angkatan yang sama semasa mengenyam pendidikan menengah atas.

Satu panggilan kecil yang Jungkook sematkan barusan—berdetik-detik lalu—adalah panggilan kesayangan yang dipakai oleh ibu dan ayah Rara. Selama ini, tidak ada orang lain yang memanggilnya menggunakan nama itu—Lara—dan kini Jungkook dengan impulsifnya melakukan hal itu, menyebut dengan bibir pucatnya.

Na geureon geon bureojima,” ujar Rara menggeleng, setengah memohon yang ditanggap dengan wajah damai sosok kurus di kursi roda. Kedua tangan hangatnya telah mengklaim dua tangan dingin Jungkook untuk digenggamnya—seakan dengan itu ia mampu menyalurkan kehangatan yang dimilikinya. “Kita tidak pernah dekat, tidak pernah saling bicara selama ini. Sekarang, hanya satu hari saja, bisakah aku menggenggam tanganmu? Dan mari kita jangan berpikir hal-hal yang menyakitkan.”

Dua pasang mata berbeda warna bertemu di udara. Tidak lagi ada suara sampai akhirnya anggukan Jungkook menjadi jawaban.

“Jika kau ingin pergi, Jungkook, pergilah. Tapi sebelum kau benar-benar pergi, dashi hanbeon anajwo, jebal ….”

Dan tanpa perlu menunggu dua kali pinta dari bibir yang telah bergetar menahan perih di hati, lelaki itu pun memeluk gadis yang mencintainya—dan diam-diam dicintainya—dengan penuh erat yang mungkin saja mampu membuatnya merasa bahagia di saat terakhirnya yang bisa tak terduga.

“Terimakasih telah mencintaku, Min Rara. Aku … aku—khhh juga … sangat … sangat … mencintaimu.”

Ketika hembus angin musim dingin telah berhenti menyiksa kulit sensitif Rara, dan ketika sisa-sisa kehangatan Jungkook telah berpindah pada si gadis kendati hanya melalui dua pasang tangan yang saling melingkar, ketika pada akhirnya dua tangan bersusulan terkulai, saat itulah Min Rara pada akhirnya mengerti … bahwa ‘orang itu’ telah menuju kepada kedamaian yang abadi.

.

.

.

.

Finale (6 –8 Januari 2017)
Recommended Songs:
~ V & Jin (BTS) – Even If I Die, It’s You

~ Yoo Sung Eun – I Love You

~ Astro – Growing Pains
[Kenapa lagu itu? Karena tiga lagu itu yang kuputar saat mengetik ff ini hehehe] 

​[Mugunghwa Mini Series #19] Behind the Screen


Behind the Screen || Park Jinyoung × Im Jaebum || Slice of Life, Urban Life, Intrigue || Teen || Continued

Seq 1 One Last Time | Seq Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10 | Series #11 | Series #12 | Series #13 | Series #14 | Series #15 | Series #16 | Series #17 | Series #18

.

.

.

© AnisMaria present

Mereka berdua saling bungkuk kompak menghadap pada lelaki tua yang punggungnya mulai tidak tampak. Jaebum bangkit lebih lama dari Jinyoung yang langsung menegak ketika pria paruh baya berdasi rapi tadi hilang dari peredaran pandang. Tak lama hingga puluhan detik menjadi setengah menit, Jaebum kembali tegap dan kemudian duduk di kursinya.

“Jika bukan karena Watanabe-sensei yang harus bertugas untuk produksi anime musim panas nanti, mungkin yang akan dipilih adalah orang-orang dari Little Giant.” Jaebum memulai kembali percakapan dalam bahasa Korea setelah tadi mereka berbicara menggunakan bahasa Jepang. “Kita harus berterimakasih padanya.”

“Kurasa ini hanya skenario,” cetus Jinyoung, yang terdengar asal seraya menggulir-gulir bola mata. Wanita-wanita dengan pakaian khas perawat adalah objek yang paling banyak masuk ke dalam lingkup pandangnya. Ia bosan dan kembali meminum kopi hangatnya dari gelas kertas.

Mendapati pernyataan yang terdengar seperti racauan manusia setengah mabuk dari mulut Jinyoung membuat Jaebum ragu apakah yang digenggamnya itu gelas kopi murni ataukah minuman beralkohol. Namun memikirkannya malah membuatnya merasa tolol. Ia pun meniup selarik bisik dengan kepala sedikit dimajukan. “Apa maksudmu?”

“Coba pikirkan, Hyung. Seorang Watanabe Keisuke yang terkenal dengan produksi anime cukup bagus, harus diminta untuk hanya ‘membantu’ proses produksi drama pendek? Sebuah drama Korea yang lebih banyak menjadi makjang[*] daripada menunjukkan sisi realita? Kurasa ini tidak masuk akal,” kata Jinyoung yang suaranya makin menggebu kendati diredamnya dengan menyesap minuman agar tak didengar orang. 

“Apanya yang tidak masuk akal?” tanya Jaebum tak mengerti. Entah benar-benar tidak paham ataukah hanya berpretensi supaya Jinyoung mau repot-repot menjelaskan. Ia tahu terkadang Jinyoung menjadi sangat lucu ketika sedang serius. 

Hela napas diakhiri dengan suara khas minuman tandas di dasar gelas menyahut tanya yang Jaebum lontar. “Pihak CBS menolak halus rekomendasi orang-orang dari Little Giant dengan berpura-pura mengajukan proposal pada Watanabe-sensei yang sedang menggarap proyek anime musim panas nanti. Kaupikir, orang semenakjubkan Watanabe-sensei mau membantu CBS? Aku sudah tahu mereka mengharapkan penolakan darinya. Dan mungkin, sebenarnya, kita lah yang sedang diperalat.”

“Diperalat? Maksudmu?” Jaebum tampaknya sungguh-sungguh tidak mengerti sebab ia mengerutkan keningnya cukup dalam kali ini.

Jinyoung mengangguk untuk menjawab kepastian itu. “Watanabe-sensei memiliki saudara kandung yang tinggal di sini dan kebetulan sedang sakit dan dirawat di rumah sakit ini. Dengan alasan palsu ingin bertemu dengan perwakilan CBS dan Goldstone—dalam hal ini adalah kita, dia mengajak kita bicara di sini. Karena setelah penolakannya, Watanabe-sensei tahu bahwa posisinya diisi dari perusahaan lain. Dan tujuannya datang ke Korea yang sebenarnya adalah untuk menjenguk saudaranya dan bukan bicara langsung dengan kita.”

“Kau yakin itu?”

“Tidak seratus persen yakin, tetapi sebagian dari dalam diriku percaya bahwa itu yang memang sebenarnya terjadi.”

“Lalu, apa maksud CBS membuat skenario seperti itu? Little Giant juga berhubungan baik dengan mereka, Young,” ujar Jaebum yang makin bingung karena sudah sejak lama ia tak begitu paham mengenai praduga-praduga seperti ini. Karena sejak lama … ia sudah jarang menggunakan perasaannya kembali kala melakoni profesi. Ia hanya punya cinta untuk kawan dan mimpi. 

Jinyoung kembali mengangsurkan anggukan yang kemudian matanya melotot dengan pandangan penuh pada netra cokelat Jaebum. “Kau pernah bicara soal Mark Tuan, bukan? Kau tahu seberapa dekatnya CBS dengan Mark Tuan itu?”

“Ya, cukup dekat. Aku juga mengenal Mark; seorang yang sangat profesional ketika menggeluti pekerjaannya sebagai Art Director. Dia sangat sering ditunjuk untuk membantu masalah art di setiap drama yang akan tayang di CBS; entah itu Original Soundtrack ataupun penataan adegan secara visual,” jawab lelaki bernama keluarga Im.

“Itulah. Kurasa, CBS sedikit kesal dengan Mark Tuan yang memilih pergi ke Amerika untuk membantu pembuatan film Jeremy Chung dan Produser Hong, di saat industri per-film-an di negara kita sedang berusaha merangkak di lereng gunung,” ujar Jinyoung menyuarakan lagi pendapatnya dengan menyisipkan analogi yang mana memang itu benar-benar terjadi. “Dan karena itu, mereka secara halus menolak ketika ada yang mencetuskan rekomendasi dari Little Giant. Kitalah yang dijadikan batu loncatan untuk itu, dengan bantuan CEO agensi Sehun yang memiliki andil besar di dalam pembuatan drama CBS—dan kebetulan dekat dengan Park Sajang.”

Memikirkannya, Jaebum makin memahami bahwa hari esok yang menjadi hari ini tak semudah yang dituturkan oleh seorang motivator. Diam-diam, ia mengapresiasi cara pikir dan praduga Jinyoung yang demikian brilian walau terkesan berburuk sangka. “Tapi aku jadi merasa diremehkan.”

“Aku juga,” sahut Jinyoung mengangguk, lebih ditujukan kepada diri sendiri. “Dan aku jadi bersemangat untuk membuktikan pada mereka bahwa kita sama sekali tidak pantas untuk diremehkan.”

Jaebum terhenyak menyaksikan raut serius Jinyoung. Namun detik berikutnya ia mengembangkan setangkai senyum yang lebih indah dari taburan kuning Forsythia di Pulau Jeju.

Akhir dari pembicaraan berat itu, Jinyoung meratap kekanakan begitu menyadari kopinya habis. Jaebum menatap simpati dan memamerkan minumannya sendiri yang masih setengah gelas. Tatapannya menjengkelkan bagi Jinyoung, namun mereka berakhir tertawa tanpa alasan.

Sejenak saja, mereka kembali merasakan kehangatan setelah tadi dilingkupi oleh hawa panas akibat remeh-temeh yang diluncurkan para orang dewasa di tempat mereka bekerja sementara Jinyoung lah yang berhasil menguak fakta tersebut berdasarkan praduganya. 

Tanpa sadar, ada kelebatan familiar yang masuk ke dalam sensor mata Jinyoung begitu ia tanpa sengaja memandang ke balik punggung Jaebum.

Orang itu … bukankah …?

Fin/TBC 
*makjang: Drama yang terlalu didramatisir (aka lebay).

[Mugunghwa Mini Series #18] Moonlight Hidden on the Dark-thick Leaves 

Moonlight Hidden on the Dark-thick Leaves  || Lee Laena × Other Serendipity’s Staffs || Slice of Life || Teen || Continued

Seq 1 One Last Time | Seq Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10 | Series #11 | Series #12 | Series #13 | Series #14 | Series #15 | Series #16 | Series #17

.

.

.

© AnisMaria present

“Juho, kau tahu di mana Hani?” Laena bertanya pada pria yang memegang posisi sebagai Editor ketika ia langsung menuju ke lantai para staf sepulangnya dari teras gedung.

Juho yang kala itu tengah mengemasi kertas bertuliskan daftar judul pemberian Yoo Shiah, menoleh pada si penanya tunggal dan ia beranjak dari duduk. “Aku menyuruhnya pulang, dan dia diantar oleh Dowoon Hyung, Seonsaeng-nim. Karena, Yoobin juga harus pulang sebelum terlalu malam.”

Laena tampak mengangguk dan kemudian pergi. Namun, belum sampai lima langkah ia meninggalkan meja Juho, kepalanya tertoleh ke belakang lagi. “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”

“Sesuatu?” tanya Juho nyaris tak mengerti. Sesaat kemudian, ingatannya terjentik dan ia langsung mengambil sesuatu dari laci meja. “Ah—jika yang kaumaksud adalah Park Hani, ya, dia memang meninggalkan sekitar lima sampai enam bab ketikan naskahnya.”

Mendengar pengakuan itu, Laena tanpa kata langsung melesat dan kembali berada di dekat Juho. “Akan kuambil,” putusnya pasti. Ia merebut cetakan tebal itu dari tangan sang Editor dan menatapnya. “Dia pasti meninggalkan ini untukku, ‘kan?”

Juho tak sempat membalas baik dengan bahasa verbal maupun hanya berupa anggukan responsif. Laena sudah kembali berjalan menuju lantai atas dengan naskah di tangan. Ia pun tak ambil pusing dan segera menyelesaikan pekerjaannya.

Di dalam ruangan pribadinya, Laena duduk termenung tanpa berniat membuka ketikan naskah yang penulisnya tinggalkan. Ia hanya menatapnya. Tenang, tanpa suara. Terlampau tenang, hingga suara hewan pengerik pun luput menyapa ruang dengar. Atau memang ia yang menolak semua hal lain untuk ikut andil dalam porsi pikirannya malam ini. 

Januari yang dingin, seperti biasa.

Kepala Laena menatap ke luar jendela yang hanya menampilkan satu sisi dari eksterior gedung serupa, dengan terang lampu cerah pada ruangan tepat di seberang mata memandang. Ada aroma malam pembuka tahun yang mengimpresikan kegalauan khas remaja, yang dulu juga pernah ia tinggali selama beberapa masa. Kini kepalanya tertoleh lagi pada naskah milik Park Hani dan rasa tak tahan menjentiknya untuk segera menghambur ke sana.

Halaman pertama ditiliknya dengam kening mengerut. Penulis muda yang masih terombang-ambing oleh ambiguitas persona tersebut benar-benar berniat dalam membunyikan ringkasan cerita yang mana seharusnya terimplisit melalui bait-bait prolog. Laena tercengang untuk beberapa detik ketika langsung disuguhi oleh kerumitan gaya bahasa yang sangat bukan-Hani-sekali di pembukaan bab pertama. Ada kepeningan yang melanda sisi dalam otaknya ketika ia baru membaca dua paragraf awal dan menemukan tekanan ketika ada beberapa kalimat yang mengesankan keterpaksaan dalam mengetiknya.

‘Dia terlalu memaksakan diri.’

Komentar dalam mode kesal itu tercetus begitu saja dari benak Laena yang lantas meloncat halaman ke pertengahan naskah cetak. Masalah di sana belum terlampau kompleks kendati Hani membubuhinya dengan berbagai hints yang akan terkuak pada bab selanjutnya. Laena tidak sempat menanyakan akan jadi berapa bab novel kali ini, namun bila sampai bab tiga saja masih santai, Laena menduga cerita akan berakhir pada bab di atas dua puluh.

Menit ke sekian menyisakan desah napas yang juga mengepulkan uap putih dari bibir merah muda wanita itu. Naskah di tangan berpindah jadi teronggok di atas meja. Kepalanya menatap sayu nama hangeul tiga karakter yang tadi siang mukanya ia tatap sekilas dengan pretensi abai. Langkah kakinya lemah, selemah detak jantungnya sendiri kala ia menduduki kursi dan mengelus buncit di perut.

“Kau pasti sedih, ya, karena Eomma selalu memikirkan orang lain?” Laena bermonolog sembari mengusap-usap perut dari luar pakaian. Untuk beberapa detik ia tersenyum mengetahui fakta bahwa Mark lebih suka menyebut dirinya ‘Mum’ untuk si jabang bayi daripada ‘Eomma’. Sementara ia tak terlalu suka dengan panggilan kebarat-baratan karena faktanya ia dan Mark adalah murni berdarah Timur. Namun demi menyenangkan Mark, Laena setuju saja meski di belakang ia berkhianat.

Laena bukan seseorang yang terlalu ekspresif bila bersama ataupun berhadapan dengan orang asing. Ia cenderung tsundere meski terkadang sedikit berlebihan. Park Hani adalah korban ke sekian yang menerima dampak dari sikapnya tersebut.

Padahal di dalam hati, ia peduli padanya.

Laena sempat bertikai dengan pikirannya sendiri dan keras kepala mengatakan bahwa ia hanya ingin memanfaatkan Hani dan karyanya untuk Serendipity. Lambat laun, ia mulai cinta pada segala hal yang Hani tulis. Pada saat ia bertemu dengan Park Jinyoung pun, ia telah yakin bahwa perasaannya lebih dari sekadar ingin menguasai Hani untuk Serendipity. Kini ia tersadar bahwa sangat egois untuk mengungkung Hani pada semua hal yang ia kehendaki.

Namun bodohnya, ia tak ingin berhenti.

Hani harus menderita. Park Hani harus mau berjuang hingga berdarah-darah demi meraih mimpinya. Laena jua mematut ikrar dalam hati untuk tak lagi menolong Hani karena ia harus membiarkan sang penulis menolong dirinya sendiri.

“Karena aku pernah terluka dan tidak seorang pun mengerti untuk menolongku, maka aku harus membuatnya merasakan hal yang sama. Supaya dia menjadi kuat dan tidak menyerah dengan bodoh sepertiku,” janji Laena pada diri sendiri. Tangannya masih enggan absen dalam mengasihi si bayi mungil yang telah bernyawa dan membuat detak jantungnya menjadi rangkap—baru ia sadari kini bahwa suara degup itu lebih dari satu. Bulatan di perut mendenyutkan sesuatu yang menyenangkan sehingga Laena menganggap itu sebagai persetujuan sang buah hati pada keputusannya. “Eomma melakukan hal yang benar, ‘kan, Baby?”

Fin/TBC 

[Mugunghwa Mini Series #17] Friend’s Anxiety 

Friend’s Anxiety || Lee Laena × Lee Jieun, Slight!Other Serendipity’s Staffs || Slice of Life, Friendship || Teen || Continued

Seq 1 One Last Time | Seq Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10 | Series #11 | Series #12 | Series #13 | Series #14 | Series #15 | Series #16

Special Backsound: VIXX LR – 할 말 (Words to Say) Leo Solo

.

.

.

© AnisMaria Present

Lee Laena tak butuh terpekur seakan waktu berjalan mundur. Baginya, Jieun yang kuat hati tak akan menangis semudah mengikrar janji layaknya bunga sakura yang tanggal di akhir musim panas. Di dalam hidupnya, Lee Jieun adalah sahabat perempuan yang paling berharga dan paling ia sayang—selain sahabat lelakinya yaitu Kim Seokjin. Bila Jieun menjumpai bongkahan batu besar dalam lika-liku perjalanan karir dan asmara, Lee Laena adalah orang pertama yang akan membantunya mendorong batu itu hingga terjatuh lepas ke dalam jurang.

Dari siang hingga sore ini, sang sahabat terdiam dengan kepala bersandar di badan sofa ruang kerjanya dengan ia yang mencoba abai. Laena ingin kembali peduli seperti akhir-akhir ini, tapi ia tahu bukan itu yang Jieun butuhkan. Teman perempuannya itu tak lagi butuh sekadar kata-kata penghibur yang justru akan membuat dilemanya makin terasa menyedihkan.

Laena bahkan rela untuk tidak mengawasi kerja para staf di lantai satu, hanya untuk menemani kesendirian Jieun yang bertahan hingga beberapa jam terakhir.

Lama-lama, pertahanannya meluruh jua sebab ia tak tahan membisu.

“Kau tidak harus menerima lamarannya, kalau memang perasaanmu padanya sebatas rasa suka terhadap individu yang dihormati.” Laena mencetus sebuah advis seraya melayangkan tepukan ringan di bahu Jieun. Terdapat lantunan nada-nada duka yang mengiringi setiap perguliran bola mata si kawan dan kini Laena tengah menatapnya. “Dia hanya mantan pelatih vokalmu semasa SMA. Dan … yah … kurasa kau juga masih belum sepenuhnya sanggup melepas kepergian Seungho.”

Lee Laena tidak buta untuk membaca kesenduan di roman muka Jieun. Ia bukannya tak ingin melihat ketenangan melingkupi sang kawan tersayang dengan tidak mengulik luka, namun bila dibiarkannya terus seperti ini, Laena takut Jieun akan terus phobia terhadap segala hal berbau romantika akibat peristiwa traumatik yang gadis ceria itu alami bertahun silam.

Maka ketika mentari telah tergelingsir ke ufuk paling barat, sadarnya pun mengajak untuk terus melangkah kendati tak berdosa bila saja sesekali masih menoleh ke belakang.

Tak apa untuk menoleh, asal tidak berlari dengan kepala sekeras batu tebing dan kembali mendiami satu spot di masa yang telah melata.

Ketika kelambu senja mulai diperciki merah merona dan meremangkan nuansa cinta, Jieun berdiri dari kursi ruangan Laena dan menatapnya. “Ini bukan tentang Seungho, Lae. Aku hanya … tidak tahu bagaimana harus menghadapinya setelah aku melepaskan impianku untuk menjadi musisi. Dulu, dia pernah menerbangkan sayapku. Dan sekarang, aku lebih seperti pengecut yang memilih menerjunkan diri ke laut lepas. Apa lagi yang bisa kulakukan ketika harus bertemu dengannya?”

Mata Laena membalas tatapan Jieun dengan gelimang asa yang berkerlipan hingga memercik pada netra lain yang sama gelap. “Bukankah itu bagus? Jieun, dia bisa membawamu kembali pada mimpi yang masih kaucintai. Kalau kau memupus cita-citamu karena kehilangan Seungho, sekarang, saatnya kau membuktikan bahwa kau bisa melepaskannya pergi dengan cara menanam kembali benih mimpi-mimpimu. Kasusmu dan aku berbeda, neodo aljanha[*].”

“Kau berhasil menampung karya para pemimpi itu meski kau melepaskan impianmu sendiri. Dan aku … justru mengkhianati janjiku sendiri, berbohong dengan pura-pura melupakannya, tapi diam-diam menemui di balik layar. Terkadang, aku merasa sangat iri padamu.”

Embusan napas Laena memberatkan langkah Jieun yang hendak pulang sore itu. Ia sengaja melakukannya karena ia tahu sang sahabat perlu menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini hanyalah kesia-siaan belaka. “Jika saja aku bisa, aku ingin mengkhianati janjiku sendiri. Kalau kau mau tahu perasaanku yang sesungguhnya, aku masih ingin menulis. Tapi, aku tahu bahwa aku tidak bisa lagi. Sejak aku melupakan Seokjin lalu berusaha menerima cinta Mark, aku pun sudah melupakan impianku untuk menjadi penulis dan memilih mencari mimpi lain. Sekarang, aku sadar bahwa lebih baik bagiku untuk menolong mereka; orang-orang yang menyayangi mimpinya. Jadi, Jieun-ah, bagiku tidak masalah jika kau masih mengajar alat musik untuk anak-anak di panti, meski yang kauinginkan dan ingin kaulupakan adalah menjadi musisi.”

“Lae ….” Jieun menghambur ke dalam pelukan Laena yang lantas menerimanya. Air matanya tidak lantas tumpah karena bahu Laena menahannya dengan baik.

Akhir dari senja itu, Laena melepaskan pelukan Jieun dan mengantarnya sampai ke depan bangunan Serendipity. Lambaian terakhir Laena menyertai punggung Jieun yang tidak tampak lagi sebab lenyap terbawa kendaraan beroda empat yang kini melaju menembus jalanan kota yang tak pernah senyap.

“Bahkan jika kau kehilangan cintamu untuk selamanya, kurasa kau akan baik-baik saja. Karena yang terpenting bagi seorang wanita adalah memiliki mimpi dan orang yang mencintaimu. Setidaknya, Kim Jungwoo adalah seseorang yang mencintaimu dan menghargai impianmu, Jieun-ah—”

Laena berbalik dan kembali masuk ke dalam gedung tempat di mana ia memperbarui mimpinya yang dulu kocar-kacir.

“—seperti Mark.”

Fin/TBC


*neodo aljanha (너도 얼잖아): kau juga tahu.

Kalo ada yang pengen tahu mengenai kisah Jieun, aku akan jabarkan sedikit.

Jieun sama Laena itu berteman belum lama, belum yang sampe bertahun-tahun. Intinya, Laena sama Jieun temenan ketika Laena sudah hampir bisa melupakan Seokjin dan menerima perasaan Mark.

Kisah Jieun sama Yoo Seungho itu.. Jadi ceritanya, mereka itu pacaran pas SMA, mereka punya mimpi yang berbeda tapi saling menguatkan dan mendukung. Mereka janji akan saling memiliki (aka menikah) ketika mereka sudah sama-sama menggapai mimpinya. Jieun ingin jadi penyanyi/musisi, sementara Seungho ingin jadi pebasket. Dulu, jaman masih kelas 2 SMA, Seungho yang lolos babak kualifikasi dan masuk ke perempat final di turnamen basket terlalu senang karena mendapat dua kebahagiaan. Pertama, karena dia mau mewakili Seoul dalam turnamen basket nasional dan akan membanggakan sekolahnya. Kedua, karena Jieun juga lolos audisi untuk sebuah agensi. Ketika Jieun mau berangkat pindah (peraturannya, kalau seorang pelajar, harus tinggal selama dua hari dalam seminggu) ke asrama, Seungho yang bolos latihan, mengantar Jieun dengan naik kereta. Padahal seharusnya dia latihan lebih keras karena esoknya dia harus berangkat ke pertandingan. Jieun juga udah mengingatkan, tapi dia bersikukuh ingin mengantar Jieun.

Cuman, di tengah perjalanan, terjadi kecelakaan. Banyak yang selamat, tapi Seungho adalah salah satu dari beberapa yang meninggal. Seharusnya, yang tertimpa sebuah benda besar itu Jieun, cuman karena Seungho melindunginya, maka Jieun selamat dan Seungho meninggal.

Sejak saat itu, Jieun udah nggak bisa lagi mengikuti semua perlombaan menyanyi, bahkan dia rela menghabiskan tabungannya selama bertahun-tahun untuk membayar penalti gara-gara keluar dari agensi. Dia menolak segala hal tentang musik dan sejenisnya. Meski di dalam hati, dia masih mencintai mimpinya. Meski gak ada yang bakal menghakimi dia kalau misalkan mau meraih cita-citanya, tapi Jieun sendiri yang merasa jadi pengkhianat kalau sampe menggapai impiannya sementara hidup dan mimpi Seungho lenyap demi dia. Itulah yang Jieun pikir.

Nah, sejak kenal dan tahu kisah hidup Laena, Jieun juga lama-lama merindukan musik yang dulu (dan sampe sekarang) dia cintai. Dia mungkin nggak menyanyi, tapi dia sering ke panti untuk mengajari anak-anak kecil bermain piano dan beberapa di antaranya ada alat musik tradisional Korea. Dia mulai berani berhubungan dengan musik lagi setelah tahu bahwa Laena juga sedang memperbarui mimpinya yang sempat hancur.

Sekarang, Jieun bekerja sebagai asisten untuk istri pelatih basketnya Seungho dulu. Jadi kan pelatih basket Seungho dulu laki-laki, dan udah punya istri yang seorang desainer. Nah, Jieun jadi asistennya.

Untuk Kim Jungwoo, dia adalah guru vokal Jieun di ekstrakurikuler musik (Jungwoo khusus mengurus bagian vokal) semasa SMA. Kakeknya Jieun dan ayahnya Jungwoo juga berteman baik, makanya dulu mereka cepet akrab.

xxxxxxxxxxxx

New Cast:

Lee Jieun, 24 y.o, Asisten Designer 

[Mugunghwa Mini Series #16] Childish Jealousy 

Childish Jealousy || Park Hani × Bae Yoobin, Yoo Shiah, Lee Laena, Slight!Lee Jieun || Slice of Life, beloved people’s-complex || Teen || Continued

Seq 1 One Last Time | Seq Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10 | Series #11 | Series #12 | Series #13 | Series #14 | Series #15

Special Backsound: VIXX LR – 할 말 (Words to Say) Leo Solo

.

.

.

© AnisMaria Present

Sejauh yang dapat Hani ingat, Lee Laena selalu baik padanya. Sebenarnya, yang baik hati tidak hanya perempuan dengan tinggi badan sedang dan rambut kelam kecokelatan itu, tetapi juga suaminya yang kendati diam, sepi, sunyi, bak prasasti, namun selalu mengulas senyum pada seluruh karyawan-karyawati istrinya bila pria itu bertandang ke kantor tersebut. Begitu pula dengan beberapa staf di Serendipity, yang jua tak pernah mengacuhkannya dengan sengaja hanya lantaran tak suka.

Mereka baik dengan caranya sendiri-sendiri. 

Ada Bae Yoobin, seorang Manajer Publikasi yang tak pernah rewel dan selalu siap mengerjakan tugasnya dengan tanpa jemu memposting luncuran novel terbaru dari Serendipity dan mengiklankannya serta mencatat pemesanan dengan hati gembira. Gadis yang ceria dan manis kendati di awal jumpa Hani sempat berprasangka dia adalah perempuan sinis—usianya sama dengan Hani.

Ada pula Baek Juho, pemuda yang setahun lebih tua dari Hani dan berposisikan sebagai Editor. Runcing hidungnya dan tegas dagu serta rahangnya membuat staf lain gencar mengatai Baek Juho sebagai pemuda keturunan campuran, yang mana ditentang dengan amat sangat oleh yang bersangkutan sebab ia berdarah Korea tulen.

Sementara pemuda berwajah dingin yang cara bicaranya teramat polos melebihi polosnya magnae dalam sebuah boygroup, Yoon Dowoon, adalah staf yang beroperasi di bagian pencetakan naskah dan amat profesional di bidangnya. Kendati ekspresinya dingin, namun senyum lebarnya melebihi hangatnya mentari di pagi pertama bulan Januari—yang mengeliminasi gigil semu akibat guguran salju di tepi jalan. Usianya dua tahun di atas Hani.

Selanjutnya ada Kang Seulgi, seorang ilustrator sampul yang sosoknya jarang kelihatan lantaran harus fokus di ruangannya. Usianya segaris dengan Lee Laena, lebih tua beberapa bulan.

Terakhir, dan yang benar-benar paling akhir, adalah seorang Selektor Naskah bernama Yoo Shiah—yang seumuran dengan Yoon Dowoon, gadis bersurai kelam yang bibir tebalnya mengimpresikan kecantikan layaknya Barbie doll. Senyumnya jarang terlukis, namun amat indah dan menenangkan kendati tak jarang tatap matanya sedikit mengerikan.

Mereka semua adalah para staf kebanggaan dan kesayangan Lee Laena, yang memang lembut hati dan baik terhadap orang-orang yang berjasa padanya.

Bila sebelumnya Lee Laena akan tersenyum lebar dan berteriak senang kala Hani datang untuk merevisi naskah, maka kini hanya kata nihil dan angka nol yang didapat dari apa yang menjadi ekspektasinya.

Lee Laena bahkan tak menyapanya, meski hanya berupa sekelumit senyum tipis nan pendek. Begitu tahu Hani ada di ruang yang sama dengan Baek Juho, Laena tanpa kata langsung berlalu begitu saja menuju ruangan  Yoo Shiah. Di jam istirahat, ketika Hani memakan bekal bersama Bae Yoobin yang mengaku kebanyakan membawa nasi dan ingin berbagi dengannya, Lee Laena hanya melirik sambil lalu lantas pergi keluar entah ke mana.

Siang itu, sehabis makan dan sebelum memulai jam kerja lagi, Hani dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita berwajah manis dan ramah tengah mencari Lee Laena. Yoo Shiah mendatanginya dengan kembangan senyum mempeta wajah, dan mengatakan Lee Seonsaeng akan segera kembali.

“Yoobin, itu siapa?” tanya Hani penasaran pada Yoobin yang tengah meminum kopi hangat pemberian dari Baek Juho beberapa menit lalu. Pemuda berjuluk Half-Blood Prince itu memang sering membagi-bagikan minuman atau makanan ringan pada rekan-rekannya.

Menghentikan sejenak aktivitas menyesap minuman di tangan, Yoobin mengerling perempuan yang tengah berbicara dengan Shiah dan kembali memberikan fokusnya pada Hani. “Dia Jieun Eonni, sahabat baik Lee Seonsaeng.”

“Kenapa aku baru lihat hari ini, ya? Apa karena dia baru datang sekarang? Atau karena aku terlalu jarang hadir?” Hani membaca pikirannya sendiri seakan ada tulisan yang keluar di atas dahi, namun ia kembali menemui kegagalan. “Apa mereka dekat sekali?”

Sangat,” komentar Yoobin dengan suara menggebu yang harus diredam demi tak membuat si objek yang bersangkutan mendengarnya. “Mereka sangaattttt dekat. Lee Seonsaeng bahkan rela meninggalkan kantor berhari-hari ketika Jieun Eonni sakit. Akhir-akhir ini, Jieun Eonni memang sering kemari dan kalau sudah bertemu dengan Lee Seonsaeng, mereka akan pergi ke ruangannya selama berjam-jam sebelum akhirnya Jieun Eonni pulang. Mungkin kalau kau akan sering mengerjakan naskahmu di sini, kau juga akan sering melihatnya.”

Bogi sirheo[*].’ Hani membatin kejam dari dalam hati, ketika lesakan perasaan cemburu menggilas dasar hatinya.

Hani adalah pribadi yang pencemburu pada siapa pun yang disayanginya. Hani kerap kali merasa jengkel kala kakak pertamanya, Park Chanyeol, lebih sering berbicara dan menghabiskan waktu bersama Hanseong—kakak keduanya—yang menyebalkan. Ia juga sering marah tidak jelas ketika kakak ipar tersayangnya, Wendy—istri Chanyeol—memilih pergi belanja dengan sepupunya daripada mengajak Hani yang tak tahan dingin. Dulu, Hani juga sempat patah hati lantaran guru sastra kesukaannya di sekolah lebih memilih adik kelas dibanding dirinya ketika ada kompetisi mengarang bebas. Padahal ia tahu sang guru melakukannya sebab Hani yang notabene murid kelas tiga akan segera melaksanakan ujian akhir.

Terakhir, dan yang paling menyakitkan, Hani sempat dilanda desperasi berhari-hari—tanpa ia mau dengan lugas mengakui, ketika ternyata ia tahu bahwa pemuda yang mencuri fokus dan hatinya selama nyaris tiga tahun di bangku sekolah menengah atas ternyata tak pernah ‘melihat’ ke arahnya. Pemuda itu, tanpa pernah Hani duga, ternyata menyukai orang lain dan itu bukan Hani.

Sejak saat itu, Hani tak pernah lagi mencoba untuk memasukkan orang lain ke dalam hatinya. Meski ia mencinta, hatinya dibiarkannya kosong dan berdebu sebab ia jua memiliki ketakutannya sendiri akan sebuah hal yang mungkin terjadi. Hani mencoba untuk tak memperbesar kecemburuan-kecemburuan kecil itu demi menjaga hubungan baiknya dengan orang-orang yang ia sayang, kendati ia tak memiliki banyak kawan.

Kini, entah mengapa, sejak ia memutuskan untuk tak lagi merasa cemburu pada Wendy yang sangat menyayangi sepupunya dan Chanyeol yang tampak lebih menyukai Hanseong daripada dirinya, perasaan kesal itu kembali hadir lagi usai ia mendengar secara sepintas akan sebuah fakta dari bibir manajer publikasi di tempatnya bekerja.

Hani benci mengakui, bahwa ia pun telah jatuh pada kebaikan hati sang atasan yang dahulu tiada jemu dalam menarik tangannya ketika ia tertahan dengan nyaman di dalam kubangan.

Kebodohan pertama seorang Park Hani adalah … ia terlalu mudah luluh pada sifat baik orang lain di awal perjumpaan.

Hei, itu Lee Seonsaeng sudah kembali ,” kata Yoobin memberitahu kala pintu utama bangunan Serendipity terkuak, lantas menampilkan figur perempuan muda yang perutnya mulai tak ramping lagi.
Hani memutar leher ke belakang dan menemukan dua perempuan muda beserta Yoo Shiah yang lantas bergabung lagi dengannya dan Yoobin. Mereka berdua—Laena dan Jieun—saling lempar senyum hangat dan Hani menyaksikan sekelebat kilatan mata Lee Laena mengarah padanya sebelum kemudian berlalu dengan tangan menggandeng lengan sahabatnya.

“Hani, ayo kita mulai lagi.”

Tersadar oleh suara ajakan itu, Hani mengembalikan wajah menghadap Shiah dan Yoobin.

Waktu telah menanti di depan sana, bersama lembar demi lembar yang harus ia penuhi dengan paragraf-paragraf bertinta hitam. Ia bangkit berdiri dan mematut langkah hanya untuk memijak telacak Laena yang berjalan tanpa menghiraukan presensinya.

Kini ia tersadar, bahwa dirinya memang bukan siapa-siapa selain hanya penulis amatir yang direkrut untuk menambah impresi mengesankan dari kantor bernamakan Serendipity. Ia hanya pemanis luar, yang bilamana eksistensinya dihapuskan pun tak akan menjadi masalah berarti.

Ia mengembuskan napas dengan berat. Seberat kenyataan yang sementara ia sembunyikan bahwa ia lagi dan lagi menolak tawaran dari Yoonseong Cinema.

Kebodohan kedua seorang Park Hani adalah … saking terlalu sensitifnya, terkadang ia malah jadi gagal peka.

Fin/TBC 

[*] bogi sirheo (보기 싫어) : aku tidak ingin melihatnya. 


New Cast : Special Serendipity’s staffs 

Bae Yoobin, 20 y.o, Manajer Publikasi @ Serendipity 


Yoon Dowoon, 22 y.o, Pencetak Naskah @ Serendipity



Yoo Shiah, 22 y.o, Selektor Naskah @ Serendipity


Baek Juho, 21 y.o, Editor @ Serendipity



[Mugunghwa Mini Series #15] Move, Please!

Move, Please! || Park Jinyoung × Oh Sehun || Slice of Life || Teen || Continued


Seq 1 One Last Time | Seq Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10 | Series #11 | Series #12 | Series #13 | Series #14

Special Backsound: VIXX LR – 할 말 (Words to Say) Leo Solo

.

.

.

© AnisMaria Present

Pagi belum membuka mata dengan pendar cantik dari pelupuk timur. Park Jinyoung tenggelam dalam sungai khayal sejak bermenit lalu lantaran tak menemukan sahabatnya di mana-mana. Tahun berada di ujung mata dan ia—seharusnya—sudah siap menyongsong segala hal baru bersama tahun depan yang akan segera mencapai kata ‘kini’. Namun ia telah membiarkan kantung rezekinya dibawa oleh seekor anak burung dengan bermalasan di pembuka hari.

“Minggir, aku mau lewat!” ketus seorang pria berwajah tegas yang memiliki senyum polos dari arah belakang tubuh Jinyoung. Oh Sehun berdiri dan menyeringai mendapati kawan seangkatannya terlamun di pagi hari. “Kalau kau terus berdiri di sana, Jaebum Sunbae akan memecah kepalamu.”

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Jinyoung dengan mata menyipit, sebab ia tak pernah mendapati Sehun datang ke gedung Yoonseong sepagi ini. “Dan … di mana Jaebum Hyung?”

Atau mungkin, pertanyaan sesungguhnya yang patut ia lontar pada Sehun adalah ‘Di mana kau melihatnya sampai bisa menyebut namanya?‘.

Mengetahui candaannya tak digubris oleh presensi yang kerap kali membuatnya kesal bukan kepalang, Sehun berdecak dan lantas mendengus kecil. “Dia baru datang tapi sudah dipanggil CEO. Kalau aku … ke sini untuk meminta persetujuan CEO lebih lanjut, dan sekarang mau kembali ke agensi.”

“Persetujuan mengenai apa?” Kening Jinyoung melipat tipis begitu mendengar jawaban dari sang kawan.

“Ada perusahaan lain yang menawariku peran. Karena kalian sangat lambat, aku juga tidak mungkin kehilangan kesempatan ini.” Sehun menerbitkan senyum bangga yang kekanakan.

Jinyoung tidak mengerti.

“CEO Park menunggu kalian. Kalau memang tidak bisa memecahkan teori yang beliau berikan, seharusnya katakan saja dan CEO akan menugaskan kalian untuk proyek lain.”

“Dari mana kau tahu tentang ini?” tanya Jinyoung yang sedikit demi sedikit benaknya mulai terisi oleh sepercik pemahaman.

“Kau lupa? CEO Park sangat dekat dengan CEO agensiku. Tanpa sengaja, aku sempat mendengar percakapan mereka.”

Seraut penyesalan menggurat di paras manis dan hangat milik Jinyoung yang lantas meluruhkan kedua tangan di sisi tubuh. “Tapi Sajang-nim tidak pernah mengatakan apa pun padaku dan Jaebum Hyung. Beliau juga pernah bilang bahwa tahun ini tidak akan ada proyek film bioskop untuk Yoonseong.”

“Itu memang benar. Tapi, keadaan jadi berubah sejak CEO agensiku mengatakan akan membawaku ikut serta dalam drama pendek untuk stasiun televisi CBS yang bekerjasama dengan Goldstone Production.”

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Jinyoung menatap manik cokelat Sehun yang harus membuatnya mendongak lantaran tinggi tubuh si pemuda Oh.

Hela napas keluar bersama uap putih dari bibir merah muda Sehun. “Kau ingat dengan pengkhianatan seorang peserta kompetisi beberapa tahun lalu? Mereka bilang, kasus internal itu akhirnya terungkap dan para direktur di CBS ingin membuat drama mengenai masalah itu. Setelah berunding, mereka setuju dan akhirnya mengontrak seorang penulis naskah serta mengadakan rapat dengan beberapa agensi dan perusahaan produksi. Di antara beberapa kandidat main cast, aku salah satu yang terpilih. Cuma, karena waktu itu hanya pembicaraan informal mengenai aku yang akan ikut dalam drama itu, aku memutuskan untuk bicara langsung dengan CEO Park hari ini.”

Penjelasan panjang Sehun mendapat respons berupa anggukan repetitif dari sang lawan bicara yang lantas menundukkan kepala. “Lalu apa lagi yang terjadi setelah itu?”

Kepala Sehun bergerak maju mendekati kepala Jinyoung yang kemudian mendekatkan mulutnya di sisi telinga sang kawan. “Kudengar, mereka juga akan meminta bantuan pada salah satu tim di Yoonseong Cinema untuk membantu proses produksinya, terlepas dari kenyataan mereka telah bekerja sama dengan Goldstone. Dan kurasa, itu memang kau dan Jaebum Sunbae. Kalau kau menolak, yang akan mendapatkan kesempatan ini adalah orang-orang dari Little Giant.”

“Benarkah?” tanya Jinyoung memastikan seraya memindai wajah Sehun yang makin menjauh karena harus kembali menegak. “Tapi, aku sedang dalam upaya ‘mendapatkan‘ Mugunghwa.”

“Dalam upaya?” Satu alis Sehun terangkat seraya bibirnya menepi ke sebelah kanan, indikasi berpikir main-main. Dari wajahnya terlihat bahwa ia tengah kebingungan dan tak habis pikir. “Bukankah waktu itu kau bilang akan mendapatkannya? Kau juga sudah bertemu dengannya, ‘kan? Aku dengar ini dari Jaebum Sunbae saat aku mencarimu.”

Jinyoung senyap tanpa berniat menjawab.

Mendapat pemandangan demikian, Sehun pun mengerti satu hal pasti. Tak perlu melisankan kejelasan fakta bahwa kawannya itu ditolak lagi. “Tidak perlu dipikirkan berlebihan. Mungkin memang kau tidak berjodoh dengan novel Mugunghwa.”

Detik itu, Jinyoung merasa seakan kepalanya dibenturkan sekeras mungkin pada pilar yang beberapa puluh menit lalu menjadi sandarannya. Ia sampai tak begitu menyadari bahwa sengatan mentari nyaris melelehkan salju yang membeku di luar gedung.

“Sebaiknya, kau temui Jaebum Sunbae di ruang CEO. Aku baru saja dari sana dan bertemu dengannya di pintu.”

Tepukan suportif hinggap di bahu Jinyoung yang tegap namun sebenarnya tengah rapuh bila tertimpa ranting lain yang jua ringkih. Sehun langsung pergi usai mengatakan kalimat demikian dan menambahkan kata penyemangat lain dalam bentuk selarik bisik.

“Harus, ya?”

Fin/TBC

“Jika drama ini berhasil di pasaran, siapa tahu saja, Mugunghwa itu akan percaya padamu dan mau menerima tawaran darimu, Park Jinyoung.” —Oh Sehun.

[Mugunghwa Mini Series #14] Sorry : Actually, I Won’t Leave 

미안합니다 : 사실 나 떠나지기 싫어 (Sorry: Actually, I Won’t Leave) || Park Jinyoung × Park Hani || Slice of Life, Slight!Sad || Teen || Continued


Seq 1 One Last Time | Seq Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10 | Series #11 | Series #12 | Series #13

.

.

Special Backsound: VIXX LR – 할 말 (Words to Say) Leo Solo 

.

.

.

© AnisMaria Present

Lantun nada-nada sendu menggores malam yang kelamnya tak mencekam. Dua anak manusia duduk di atas panggung rendah dengan membawa mikrofon dan gitar untuk menyanyikan lagu perpisahan.

Jinyoung dan Hani masih ada di sana; pada meja bernomor di antara meja lain, tertahan oleh waktu yang terlalu jemu untuk menunggu. Bilur-bilur luka kembali timbul ketika lelaki bersurai gelap memapar dirinya yang pernah tinggal di lorong waktu masa lalu. Butuh banyak perjuangan bagi Jinyoung untuk menggapai langit dalam upaya mengais bintang yang diinginkannya. Di depannya, gadis itu terdiam dengan gigil halus di sekujur tubuh yang luput ia amati.

Selama jeda hening sembari menanti lagu seterusnya, usaha Jinyoung hanya berbuah gelengan dari kepala gadis yang terdiam tanpa kata.

Terdengar jawaban dari mulut lain yang menyuarakan bait-bait pembangkit rindu. Para penyanyi masih saling bersatu padu menyelaraskan lagu. 

“Jadi, kau tetap akan menolakku?” tanya Jinyoung dengan siratan tak percaya yang mengentali air mukanya. Matanya memandang sayu pada gadis yang lekas menggeleng dengan mempertahankan kaca di kedua telaga jernihnya agar tak segera meleleh. “Bukankah sudah kubilang ini masalah waktu? Jika hanya tentang konfidensi, aku bisa membantumu.”

“Maafkan aku,” bisik gadis itu, yang seharusnya tertelan oleh lantun lagu dari dua anak manusia di atas panggung. Jinyoung mendengarnya. Ia masih mendengarnya dengan amat jelas.

Himpunan nada telah berakhir. Namun kesabaran Jinyoung tak kunjung terkikis hanya dengan penolakan repetitif yang diangsurkan gadis itu padanya. Menabahkan diri, ia tersenyum tipis—setipis surih kuas tak bertinta di atas kanvas basah. “Baiklah. Hubungi aku jika kau berubah pikiran—karena aku akan terus menunggu jawabanmu.”

Untuk terakhir kalinya, malam itu, Jinyoung seperti bermonolog. Ia yang kemudian bangkit dari kursi dan meninggalkan tatapan teduh terhadap rambut cokelat Hani yang tertutup beanie hat. Hari ini Jinyoung gagal mendapatkannya. Tetapi tanpa dimengerti olehnya sendiri, ia berhasil untuk membuat gadis itu tertunduk memikirkan kata-katanya.

“Aku pergi, Hani-ssi. Jangan lupakan bahwa akan selalu ada seseorang yang menghargai tulisanmu.”

Langkah kakinya tak meninggalkan suara detak beratur yang memasuki ruang dengar Hani, tetapi Jinyoung meninggalkan hatinya yang bertalu-talu tak karuan sebab konfesi barusan. Selain Lee Laena, baginya, baru Jinyoung lah manusia lain yang mau menghargai karya dan mimpinya sebesar itu. Meski Jinyoung telah pergi dari hadapannya, menuju kasir dan membayarkan pesanan mereka, lantas tertelan lubang pintu untuk kemudian tak lagi mampu diraih oleh sensor matanya, jejak berupa dukungan dari lelaki itu masih tertinggal di sisi terdalam dari dirinya.

‘Maafkan aku, Park Jinyoung-ssi. Maafkan aku, Seonsaeng-nim.

Malam itu, di penghujung lagu ke sekian, air mata Hani terjatuh jua.

.

.

.

Ia memiliki mimpi … yaitu menyelamatkan mimpi orang lain. Im Jaebum pernah menyelamatkan impiannya yang kocar-kacir terlindas takdir yang berusaha mempermainkannya dengan menggilas kepercayaan dirinya hingga tergelincir. Im Jaebum adalah orang kedua yang berharga dalam hidupnya selain kedua orang tua dan kakak perempuannya yang konstan berada di posisi pertama. Di dermaga yang mana nyaris menghanyutkannya bersama kapal kepengecutan, Im Jaebum memburu dan merenangi lautan hingga berhasil menggapai ujung jari dan menyeretnya kembali.

Park Jinyoung tahu bagaimana perasaannya kala itu; merasa berarti. Ketika sebuah pemahaman menyapu benaknya bahwa asanya terselamatkan, ia mulai mengerti betapa berharga insan yang melakukan itu untuknya.

Kini, ia tahu bahwa rantai kehidupan musti tersambung demi mampu menggelindingkan roda dunia seperti bagaimana seharusnya.

Dan sekarang, pada waktu ini … Jinyoung tahu mimpi siapa yang harus ia selamatkan, meski orang itu terus-menerus menolaknya. Jinyoung tak akan menyerah. Bahkan jika penulis itu baru akan memberikan jawabannya nanti, Jinyoung sanggup menunggu. Jinyoung telah berjanji akan mempertahankan dirinya berada di Yoonseong Cinema untuk menampung mimpi yang masih menjadi mendung di mata buram gadis berkepala cokelat.

Karena di antara janji yang tak terikrar melalui lisan itu, Jinyoung juga memiliki impiannya sendiri; untuk membuat film yang bagus bersama Im Jaebum yang ia hormati dan hargai.

‘Maaf jika aku pergi lebih dulu di hari pertama kita bertemu, saat sesungguhnya aku tidak bisa pergi begitu saja. Hanya teruslah melangkah, Mugunghwa-ssi—’

Senyum Jinyoung terlukis di parasnya yang manis menawan. Ia menoleh ke belakang dan melalui dinding kaca transparan Holly’s Coffee, satu-satunya pemandangan yang memenuhi ruang pengelihatannya adalah bahu bergetar seorang Park Hani.

‘—karena aku akan menunggumu di persimpangan jalan—’

Tak perlu menunggu detik makin berlari menjauh, kembali lagi ia menatap ke depan. Dua tangannya mengepal dengan hal pasti yang tersimpan dalam genggaman. Hangat tubuhnya menerjang butiran salju yang enggan absen di malam menjelang penghujung tahun. Kepulan uap putih tersepuk dari kedua belah bibir yang memerah. Ada segaris senyum yang menyurih tipis, kendati kali ini lebih tulus dan teduh.

‘—dan aku yang akan memimpin langkahmu.’

Fin/TBC 

​[Mugunghwa Mini Series #13] Hidden Rainbow

가려진 무지개 (Hidden Rainbow) || Park Jinyoung × Park Hani || Slice of Life, Slight!Sad || Teen || Continued


Seq 1 One Last Time | Seq Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10 | Series #11 | Series #12

.

.

.

© AnisMaria Present

“Tidak banyak yang menyadari bahwa aku adalah mantan member Crownless J-Neration. Bahkan jika itu adalah mereka yang dulu menjadi penggemar.” Senyum sadar diri terbit dari bibir Jinyoung, yang nyaris terlihat seperti tengah mengasihani diri sendiri. Gadis yang dua menitan lalu mempersilakannya duduk di kursi yang berhadapan masih konstan mendengarkan. “Mungkin karena terlalu jarangnya kami tampil di acara-acara televisi, atau kurangnya minat masyarakat terhadap musik yang kami bawakan, atau entah apa.”

Gadis itu melihat kuluman senyum yang ia sendiri tak bisa mengerti. Karena selama ia hidup, dirinya amat jarang menampilkan ekspresi demikian bahkan bila hanya bertemankan cermin kecil. “Tapi, maafkan aku, Jinyoung-ssi. Sayangnya aku dulu juga bukan penggemarmu.”

Selayaknya layang-layang yang terbang bersama para burung di atas kepala manusia dan bercumbu dengan sepoi angin di minggu muda, kemudian si penerbang memutus tali kaitan dengan sepihak yang menyebabkannya lantas jatuh menukik ke atas bebatuan—atau tercebur ke sungai tak dalam namun berlumpur, atau tersangkut ranting yang kering kerontang ditiup angin sisa musim gugur—Park Jinyoung terkejut karena fakta getir kembali terepetisi. Mencoba menabahkan diri, ia tersenyum seadanya. “Ahh, geuraeyo?”

Anggukan menyertai setelahnya. “Karena aku, waktu itu, sama sekali tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain belajar.”

Senyum maklum yang terlukis tipis menghiasi paras manis sang pemuda. “Benar. Kau pasti masih sekolah saat itu, ‘kan? Berapa usiamu sekarang?” timpal Jinyoung seraya menimpa kembali dengan pertanyaan. “Dan juga … bagaimana aku harus memanggilmu? Mugunghwa saja cukup?”

Gadis dengan mata yang dipenuhi bayang-bayang warna buram pelangi tersenyum. Lengkung senyum yang Jinyoung kenali sebagai sebuah formalitas semata. “Aku bukan siapa-siapa. Tapi, sebenarnya aku hanya ingin dikenal sebagai Mugunghwa, jika memang orang lebih dulu mengenalku sebagai Mugunghwa. Dan aku juga ingin terus dikenal sebagai Park Hani, jika memang orang lebih dulu mengenalku sebagai Park Hani. Usiaku dua puluh pada tahun ini.”

“Wah, kau fleksibel sekali, ya. Pasti mudah untuk menjalin hubungan dengan orang lain jika kau selalu berupaya menyenangkan dan membuat mereka senyaman mungkin,” komentar Jinyoung canggung.

‘Ya, karena itulah terkadang aku juga tidak mengenali diriku sendiri.’ Hani melanjut pedih dalam hati.

Sejenak hening dan perapian terasa menjadi dingin. Park Hani memupus canggung dengan menyesap kopi susu yang ia pesan tanpa mengajak Jinyoung untuk meminum pesanannya sendiri. “Jadi, ada apa tiba-tiba memintaku ke sini? Dari mana kau bisa mendapatkan nomor ponselku? Selain itu—”

“Kau menolakku sebelumnya,” potong Jinyoung. Tangannya yang berada di atas meja mencengkeram udara kosong yang luput dari pengamatan Hani. “Aku mengirim email padamu mengenai adaptasi novel untuk Yoonseong Cinema, dan kau hanya membalas ‘maaf’ lalu mengabaikan pesan masuk dariku. Aku tidak bisa menerima ini. Meski pada akhirnya kau masih bersikeras menolak tawaran dariku, setidaknya beri aku alasan, Hani-ssi.”

“Aku tidak bermaksud menolakmu,” lirih Hani di antara bisik manja lagu selanjutnya.

“Lalu, apa?”

“Sebagai seorang penulis amatir yang sangat beruntung karyanya bisa terbit di tahun penyerahan naskah, aku sangat senang. Tapi, jauh di balik itu semua, aku merasa bahwa aku belum layak menerima penawaran seperti itu.” Suara Hani tidak terdengar lembut mendayu layaknya merdu suara si penyanyi lagu sendu, namun ada aura khusus yang membuat Jinyoung terenyuh dengan konfesi yang Hani ungkapkan. “Aku akan merasa sangat serakah, tidak tahu diri, dan juga—”

“Apa yang membuatmu merasa demikian?” tanya Jinyoung yang lagi dan lagi memutus kalimat si gadis pemilik surai cokelat kelam.

Hani terdiam. Kata-kata mendadak hilang dari seluruh ruang di kepala dan tampaknya Jinyoung menyadari hal tersebut.

“Apa kau memaksakan dirimu sendiri?”

Kerjapan mata. Hani mendongak untuk dapat memaku fokus pada netra kelam Jinyoung di hadapan. “Ne?”

“Jangan menyakiti dirimu sendiri. Jika ingin merasa bangga, maka berbanggalah. Jika kau merasa dirimu keren, maka berpikirlah demikian. Karyamu bagus, berbeda dari yang lain. Aku bahkan tidak pernah berpikir akan ada yang membuat cerita modifikasi sejarah dengan unsur fantasi yang mendasari isi cerita utama. Jika boleh memuji, itu adalah cerita dalam negeri pertama—untuk genre history-fantasi—yang sangat kukagumi. Karena selama ini, aku lebih sering membaca novel karangan dari penulis Eropa dan Jepang.”

“Aku tidak ingin berbangga diri,” ucap Hani yang kemudian menurunkan pandangan pada kepalan tangan Jinyoung di dekat cangkir cokelat panas. “Aku tidak terbiasa dengan perasaan seperti itu.”

“Tapi kau akan semakin kesakitan jika terus mengungkung dirimu sendiri di dalam logika yang sebenarnya tidak ada. Hani-ssi, percayalah, tidak ada orang lain yang akan merendahkan cara berpikirmu kalau kau sedikit merasa bangga. Kenapa? Karena kau memiliki sesuatu yang memang bisa dibanggakan. Karena kau pantas untuk merasakannya. Ini milikmu, tentangmu. Jadi, lebih cintailah dirimu sendiri dan jangan pedulikan kalimat buruk orang lain jika memang itu ada.”

“Selama ini, aku baik-baik saja.” Hani mengangguk halus, mencoba membuktikan kebenaran dan keyakinan atas ungkapannya. Kendati di mata si lelaki justru terlihat makin memaksakan diri. 

Jinyoung menghela napas. Ingin menggenggam tangannya untuk menguatkan, tetapi dia bukan Sehun atau Jaebum yang merupakan kawan baiknya. Dia seorang perempuan—lawan jenisnya, makhluk yang harus dihormati jiwa dan raganya. Makhluk yang harus dijaga pikiran dan perasaannya. Lagipula, gadis yang memiliki marga sama dengannya ini adalah orang baru yang belum satu jam duduk berhadapan dengannya. Dia adalah penulis amatir yang karyanya membuat ia jatuh cinta dengan cara yang amat menyenangkan. Mimpi-mimpinya yang mati suri kembali bangkit dan hidup lagi tepat setelah ia membacanya. Ada selipan kebahagiaan dan suntikan energi baru untuk kembali berpegangan pada birai dalam menyeberangi jembatan asa yang terombang-ambing terkena sapuan napas dunia. 

Jinyoung melihat, ada kesakitan yang gadis itu ciptakan sendiri di atas pencapaian yang tak begitu ia syukuri. Sebuah ganjalan penumbuh luka yang menyeratkan langkahnya dalam mematut destinasi tak kunjung berkeping dan menjadi alas di atas kerikil tajam.

Ada satu rasa … seperti sebuah tanggung jawab untuk menyelamatkan impian orang ini. Bahkan planet pun harus berevolusi untuk mengabdi dan begitu seterusnya. Bila sedetik saja ia tak berpindah posisi, mungkin kiamat pun akan lebih cepat terjadi. Begitu pula manusia.

“Aku suka mata pelangi yang dipenuhi mimpi.” Jinyoung menatap sosok Hani yang terlihat begitu kokoh namun rapuh. Senyumnya terbit, ingatan akan dirinya di bertahun-tahun lalu kembali terepetisi akibat hadirnya satu eksistensi di masa ini. Ia bersyukur, masih bisa mengingat masa itu kembali—masa ketika ia percaya bahwa menyerah adalah jalan satu-satunya untuk mencapai rumah. Karena dengan mengingat masa lalu pada fase tersulit, Jinyoung akan menikmati betapa bahagianya ia di masa sekarang, yang tidak lagi terhimpit oleh lesakan tak nyaman di dalam dada dan meremas isi perutnya. “Tetapi di matamu, indah pelangi itu tertimbun oleh mendung. Itu pasti sangat sakit untukmu melihat dunia yang indah ini, Park Hani-ssi.”

Ia tak berhenti tersenyum, seperti sebuah misteri yang tak diketahui ujungnya. Ia … yang kini menjadi poros atensi gadis muda yang terperosok lubang jurang dalam upaya menggapai asa di ambang cakrawala.

“Karena aku pun … pernah menjadi seperti itu. Karena kau sekarang, kau yang kulihat ini, sama seperti diriku di masa lalu.”

Sore itu, senja melabuhkan mentari yang semakin tua bersembunyi di balik mega. Gumpalan salju menguap tipis-tipis, membantu para insan menikmati dingin yang akan makin menggigit ke depannya.

Fin/TBC

[Mugunghwa Mini Series #12] Moment at First Meet 

처음 만난 순간이 (Moment at First Meet) || Park Jinyoung × Park Hani || Slice of Life || Teen || Continued


Sequel 1 One Last Time | Sequel Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10 | Series #11

.

.

.
© AnisMaria Present



Mulanya ia nyaris tak percaya, seperti bagaimana bila mendapati sinar bulan berpendar di siang hari. Memang, Jinyoung sempat mematut satu harapan di sisi janji tak pasti yang pemilik Serendipity ikrar padanya. Namun, di balik asa yang tak seberapa itu, ada hesitansi yang jua menyelubungi ruang batinnya. Kini kakinya yang melangkah telah jauh meninggalkan wajah datar sang rekan di belakang sana—di ruang duduk di dalam apartemennya. Tak main-main, ia pun menambah akselerasi dengan berlari.

Usai menerima pesan dari pemilik perusahaan penerbit novel yang bernama Serendipity, Jinyoung tak membuang waktu untuk langsung menghubungi si penulis bernama pena Mugunghwa. Jaebum yang beberapa menit lalu duduk di sampingnya tidak melayangkan selarik pun protes. Rekannya itu hanya mendengus rendah sebab tahu bahwa seorang Park Jinyoung adalah lelaki yang pantang menyerah.

Im Jaebum membiarkan saja sahabatnya mencari cabang mimpi sendiri, bila memang itu yang diinginkannya.

Jinyoung menghentikan taksi yang melaju lambat melintasi depan gedung apartemennya dan menyebutkan tempat dimana destinasi menanti. Supir lelaki berbadan tambun mengangguk tanda mengerti. 

Setelah tadi ia bersikeras memaksa sang penerima telepon dari seberang sambungan untuk bertemu di sebuah kafe atau tempat umum tertentu, Jinyoung yang tersengal antara napas dan engahan lelah kini terimbangi dengan terbitnya selengkung senyum di bibir. Ia mendapat sebuah perasaan gembira—sebab akhirnya ia menemukannya—dan sedikit rasa gugup lantaran baru tersadar bahwa penulis amatiran bernama Mugunghwa itu adalah seorang perempuan. Gugup, karena terkadang menghadapi perempuan itu jauh lebih sukar daripada menghadapi atasan mengamuk. 

“Di sini?” tanya si supir yang mengemudikan kendaraan dengan kecepatan terkendali ketika akhirnya berhenti. 

Jinyoung mengangguk dan turun setelah menyerahkan biaya transportasi. Ada luapan rasa senang dan tak percaya karena ia bisa menemukan penulis itu secepat ini. Di tempat yang tidak jauh membentang pula. Maka langkahnya pun segera meninggalkan telacak di atas timbunan salju menuju sebuah bangunan berukuran sedang yang terapit di antara bangunan lain.

Lonceng di atas kepala berdenting kecil tanpa harus ia menyundulnya. Ia meniti seluruh titik di mana ada kursi yang hanya diduduki oleh seorang perempuan. Ada banyak orang dengan lawan bicara dan kawan mengobrolnya masing-masing. Ruang dengar pun seketika disinggahi oleh suara alunan musik lembut dari segala sudut, dibubuhi dengan obrolan abstrak yang tak terdeteksi maknanya bagi Jinyoung yang enggan fokus pada mereka. Satu kali lagi ia menggeser atensi, dan matanya terpaku pada satu presensi. Di sudut ruangan yang lebih sepi dari lainnya, dekat dengan perapian dan membelakanginya, Jinyoung menemukan orang itu. Untuk hal yang telah diusahakan dan diharapkannya sejak lama, ia mencoba untuk percaya bahwa sosok itu adalah dia.

Ia berjalan ke sana dan berdiri di sisi sebelah kiri.

Jogiyo …,” sapa Jinyoung halus sambil menjulurkan leher untuk mencoba mengenali fitur wajahnya. Perempuan bertubuh mungil itu mengenakan beanie hat di kepala, dan setengah wajahnya tertutupi syal. Ada kopi susu yang uapnya masih mengepul dan lenyap ditelan kehangatan. Ketika perempuan itu menoleh, Jinyoung menguak bibir menyuarakan sebaris tanya kecil to the point, “Apakah kau adalah Mugunghwa?”

Mata perempuan itu membulat. Detik demi detik dilalui dengan saling tatap tanpa makna dan si perempuan muda mulai bangkit dari duduk. “Kau …?”

Kerut kening menghiasi paras Jinyoung yang acapkali menampilkan senyum formalitas semata. “Jeo aseyo*?”

“Park Jinyoung yang itu,” jawab si gadis yang kemudian menurunkan syal dari sebagian wajah. Matanya yang mengimpresi kesenduan anomali menarik perhatian sang lawan hingga Jinyoung tak mampu berkata apa-apa menatap kelabu yang membayangi jutaan pelangi. “Kau Park Jinyoung … mantan member Crownless J-Neration, bukan?”

Fin/TBC

Note : 

*jeo aseyo (저 아세요?) :: Kau mengenalku? 

[Mugunghwa Mini Series #11] Clue and Message 

Clue and Message || Park Jinyoung × Im Jaebum || Slice of Life || Teen || Continued

Seq 1 One Last Time | Seq 2  Don’t Go Today | Series #1 | Series #2 | Series #3  | Series #4  | Series #5  | Series #6 | Series #7 | Series #8 | Series #9  | Series #10



.

.

.
© AnisMaria Present

“Kita tidak ada kegiatan, ‘kan, bulan ini sampai akhir Januari nanti?” tanya Jinyoung pada Jaebum, sore itu, di depan televisi ruang duduk apartemennya.

Si lelaki bermarga Im yang tengah bersamanya sedang membuka, menutup, dan membalik-balik beberapa halaman kertas yang dijepit jadi satu. Televisi di depan mata menampilkan layar kosong berwarna kelam karena tak dinyalakan. “Dan ketika kujawab ‘ya‘, kau akan langsung mencari si Mugunghwa itu, ‘kan?” Jaebum membalas dengan balik bertanya. Ia memutar kedua mata ketika menemukan ringisan salah tingkah di paras Jinyoung yang manis. Jika sudah berlaku begini, Jaebum tidak sanggup untuk berkata tidak, kendati ada satu hal krusial yang luput ia beritahukan. 

“Jadi?” tanya Jinyoung menodong sambil terus menatap wajah Jaebum. “Apa yang kaulakukan dengan kertas-kertas itu? Bukan kontrak kerja dengan perusahaan lain yang merekrut kita untuk mengurus proyek drama mereka, ‘kan?”

“Ini bukan apa-apa jika sekilas kau melihatnya,” jawab yang lebih tua beberapa bulan seraya mengerling sebentar dan kini kembali lagi menekuni kertas di atas pangkuan.

“Lalu?”

“Kau ingat, tidak, beberapa waktu lalu, Park Sajang memberi kita video misterius ketika kau sedang tergila-gila dengan cara menemukan penulis amatir itu?” Jaebum bertanya dengan maksud membuat Jinyoung memikirkan sendiri jawabannya.

Jinyoung benar-benar berpikir. Namun sebelum menyuarakan barisan jawabnya, ia terganggu oleh satu kata yang kini terus menari-nari di ujung lidah minta disuarakan lebih dahulu. “Hyung! Yang begitu itu bukan tergila-gila namanya! Dan … yah, aku tahu video misterius yang kaumaksud. Yang membuatmu mengabaikanku, ‘kan?”

Kepala Jaebum tertoleh penuh pada insan yang membuatnya mengerti makna persaudaraan yang menggores lembar takdir mereka dan memahami perasaan bagaimana melindungi mimpi orang lain. Ingin ia berkata, ‘Bukannya kau yang lebih dulu mengabaikanku demi penulis itu?’, namun tak dilontarkannya lantaran persoalan tersebut cukup sepele untuk dipertengkarkan. Maka Jaebum pun mengabaikannya. “Benar. Video yang menampilkan lorong gelap dan ada rel dengan kereta enam gerbong melintas di dalamnya.”

“Kereta enam gerbong.” Mata Jinyoung menerawang ke atas bagai anak kecil tengah berpikir. Kemudian ia menggeser bola mata dan menancapkan fokus untuk sang sahabat yang merangkap sebagai rekan. “Hyung, mungkinkah ini adalah web-drama series dengan enam episode?”

“Aku juga sempat berpikir seperti itu. Hanya saja … jika memang demikian, maka jawabannya terlalu mudah.” Jaebum mengetuk kertas tiga lembar di pangkuan sementara satu kakinya disilangkan ke kaki lainnya. “Sajang-nim tidak mengatakan apa pun mengenai hal ini. Beliau hanya menyuruhku untuk menemukan jawabannya, lalu pergi.”

“Tidak bilang akan melakukan atau memerintah sesuatu jika kita berhasil memecahkannya?” tanya Jinyoung penasaran, yang lebih menyerupai penyaluran rasa tak percaya.

“Ya,” jawab Jaebum singkat.

“Berarti ini hanya untuk kita, Hyung. Petunjuk ini tidak akan diberikan pada tim lain.” Jinyoung menyuarakan pendapatnya dengan mengangguk mantap.

Bulir keringat menetes di kertas yang Jaebum cumbui dengan tatap matanya. Ia tak berpikir keras, tetapi datangnya air di kening menandakan ia tak bisa bersantai lagi. Dilihatnya Jinyoung yang ada di sisi dan ia kembali berujar, “Tanpa deadline, Young. Ini berarti, ada sesuatu yang harus segera kita temukan. Dan kita yang akan mendapatkannya.”

“Aku ragu kalau itu sebuah pekerjaan untuk merekrut pemeran dari film yang justru akan di-handle oleh tim lain.”

Jaebum yang semula akan mengembalikan fokus pada kertas, lekas mempertahankan wajahnya untuk tetap menelisik raut wajah sang rekan. “Kenapa bisa berpendapat seperti itu?”

“Hanya perasaanku saja. Nyatanya, beberapa waktu lalu ketika kita memproduksi film Falling Skies onto the Sea, ada enam agensi yang menawarkan trainee dan rookies-nya untuk jadi figuran. Meskipun, seluruhnya ditolak oleh Park Sajang.”

“Kau benar.” Anggukan menyertai seusai Jinyoung mengeksplanasi. Namun ia berujung dengan kembali memutar kedua bola mata indikasi berpikir. “Tapi aku masih ragu. Sajang-nim sempat bilang, meski tidak secara eksplisit, bahwa beliau tidak akan memproduksi film apa pun di tahun ini. Kemungkinan, sampai pertengahan tahun depan.”

“Entah kenapa video kali ini sedikit memusingkan,” komentar Jinyoung tanpa tedeng aling-aling.

Tak memiliki perbedaan pendapat, Jaebum pun mengangguk.

Hening yang menyelimuti tak terasa mencekam karena ada hangat yang datang entah dari mana sore itu. Ruang duduk menghening selama sekian sekon sebelum ponsel di saku Jinyoung menjalarkan getar. Ia nyaris abai, tetapi selimut hangat yang melingkupi mereka tergantikan dengan kekhawatiran bila itu adalah pesan dari CEO mereka.

Jinyoung membuka kunci dengan menekan tombol yang berada di sentris dua tombol lainnya guna menghidupkan layar. Tangannya bergeser membentuk sebuah pola untuk membuka kunci pattern yang melindungi si ponsel. Ada nomor tak dikenal yang masuk dengan sebuah pesan singkat.

‘Aku mengirimkan alamat email pribadi Mugunghwa beserta nomor ponselnya. Ajak dia bicara baik-baik jika ingin berinteraksi dengannya dan jangan gunakan keangkuhanmu kalau kau tidak ingin berakhir ditolak lagi.’
Lee Laena

Fin/TBC