[Oneshot] Just One Day


Title: Just One Day || Author: AnisMaria || Casts: Jeon Jungkook (BTS) ft. Min Rara (original character/you), Kim Taehyung (BTS), Slight!Jimin (BTS) || Genre: Romance, Angst || Rate: Teen || Length: 3.000+ words



.

.

.
“Hanya sehari saja, biarkan aku menggenggam tanganmu.”


.

.

.
_______

Akhir musim semi, 2014

Seorang Min Rara tidak pernah jatuh sedalam ini sebelumnya. Min Rara adalah gadis tertutup, tidak memiliki banyak teman, selalu menyendiri di sudut perpustakaan untuk memperkaya pengetahuan, dan tidak banyak yang mengetahui bagaimana kisah cintanya. Semacam jarum yang terus menari-nari bertemankan hanya dengan benang sulam di atas kain takdirnya, ia pun terus hidup dengan bertemankan kesendirian serta ketertutupannya. Dan juga, hidup dengan perasaannya yang terus bertambah untuk pemuda itu. Pemuda itu—pemuda yang selalu bersitatap dengan intan kelamnya tatkala sosok bersurai cokelat itu diseret paksa oleh sekumpulan murid sok kuat.

Ia jatuh cinta, walau semua itu hanya mampu dirasakan olehnya. Ia telah jatuh pada pesona polosnya, kendati pendar afeksi tersebut hanya mampu ia pancarkan melalui manik hitamnya yang selalu bertumburan dengan kelereng cokelat itu.

Selalu, setiap hari ia akan datang setelah para penguasa kelas itu puas bermain-main dengan Jeon Jungkook; menyeka peluhnya, mengoleskan cairan antiseptik dari kotak obat bawaannya pada robekan bibir merah muda pemuda itu. Ya, pemuda itu—pemuda bernama Jeon Jungkook itu.

Tanpa ada satu pun kata terucap, keduanya telah menjalin pertemanan. Kendati hanya dalam keheningan.

Sampai tiba pada hari itu. Sebuah badai yang datang pada ujung musim dingin nan hangat. Sekelompok murid nakal yang selalu memalak uang saku pas-pasan Jungkook dan berakhir menyisakan satu rembasan darah keluar dari porinya yang sempit. Mereka menemukan Rara, dan turut jua menyabotase uang saku gadis itu yang didapatkannya dari bekerja sambilan di toko roti. Rara tak pernah menyesal. Hingga badai yang sesungguhnya datang menyusul setelah datang topan pertama.

“Rara-ssi, kumohon padamu … mulai sekarang kau tidak perlu lagi berurusan denganku.” Bibir merah mudanya berkata, untuk pertama kali dalam sejarah pertemanan hening mereka berdua. “Aku semakin kewalahan menghadapi mereka, sebaiknya kau tidak usah mempersulit dan semakin merepotkanku.”

Lalu Jungkook pergi, dengan langkah gontainya yang membuat jalannya terseok ke kanan dan kiri. Bertetes darah tertinggal di belakang sepeninggalnya ia dari tempatnya berpijak. Langkahnya berlanjut, meninggalkan Min Rara yang termangu di tempatnya dengan tatap mata pilu menggores paras manisnya yang terluka—terluka sebanyak sang pemberi sendiri.

‘Ya, Jungkook. Seharusnya aku hanya memandangmu saja—dari jauh. Karena dengan begitu, kau tidak akan menolakku seperti ini, Lelaki Pertamaku.’

.

.

.

.

Musim dingin, 2021

Pria berjas putih simbol kebanggaannya itu melangkah dengan diekori oleh seorang asisten pribadi di sisi kiri. Sesekali kepalanya memutar ke samping, memandang wajah gadis pintar yang tengah menjelaskan beberapa hal kepadanya. Tak jarang pula ia tampak mengangguk, lalu sering pula tercengang entah karena apa.

“Jadi, Seonsaeng-nim, setelah ini kita akan—”

“Pergi mengecek pasien gila di ujung lorong itu,” potong pria berjas putih sambil terus berjalan, tak mengindahkan kerucutan di bibir sang asisten yang selama enam bulan ini berada di sisinya—bekerja padanya.

Seonsaeng-nim, kau tidak bisa mengatainya seperti itu sementara kau adalah—”

Lelaki berjas itu menghentikan jalannya, yang otomatis diikuti oleh seseorang di sebelah kiri. “Asisten Min, kumohon berhentilah cerewet. Dia tidak dengar apa pun. Lagipula, laki-laki waras mana yang bersedia meminum racun serangga hanya karena ditolak oleh wanita kecintaannya, hah?”

“Tapi, meskipun begitu—” Gadis itu langsung menghentikan protesannya di saat kaki dokter muda itu kembali melangkah. Sekelebat visualisasi dari masa yang pernah dilaluinya berkelebat di ujung mata. Sekeras apa pun ia berusaha untuk mengabaikannya, kilasan itu tetaplah akan selalu tampak. Ia terdiam, lantas terus berjalan guna menyeimbangkan dengan langkah sang dokter yang telah menemukan kamar terakhir di lorong tempat mereka berkonversasi barusan.

Pintu warna putih itu terkuak, dan gadis itu masih ada di belakangnya. Tampak sesosok wajah kusam menyapa ruang pandangnya ketika ia mengarahkan fokus pada objek menyedihkan di atas ranjang rawat.

“Kalau kau bukan temanku, Jimin, aku benar-benar sudah membedahmu di ruang operasi dan berakhir di kamar mayat!” frontal dokter muda itu seraya mencubit perut sang pasien yang meringis disertai tawa bodoh di tempatnya berbaring.

“Kau, ‘kan, bukan manusia. Kau tidak akan mengerti patah hati itu rasanya sesakit apa,” elak lelaki yang mengenakan piama rumah sakit warna azure. Tatapannya bergulir pada sosok bersurai kelam di sisi kiri sang dokter. “Benar, ‘kan?”

Di tempatnya, gadis itu gelagapan. Tanpa perlu menjawab, ia hanya menanggapi dengan seulas senyum tipis penuh respek—sebagai asisten dokter kepada pasiennya—lantas mengecek kantung infus dan menuliskan sesuatu di papan berjalannya yang ia bawa sejak tadi.

“Jangan tanya pada Rara, dia buta soal cinta.” Dokter muda itu berujar dingin sambil mengecek dada Jimin menggunakan stetoskop. “Hidupnya hanya dihabiskan untuk belajar, jadi jangan tanya soal patah hati padanya. Jatuh cinta saja belum pernah,” lanjutnya sok tahu bersama wajah semeyakinkan mungkin.

Selanjutnya lelaki bernama Jimin yang hari ini menjadi pasien dokter muda itu terdiam dengan mulut terkatup. Diliriknya asisten yang telah siap dengan tulisan-tulisan yang akan dilaporkan pada dokter ‘idiot’ yang merupakan sahabat Jimin sejak sekolah menengah atas.

“Aku ada jadwal konsultasi dengan pasien pribadiku, jadi jangan berlaku aneh-aneh di sini kalau tidak ingin berakhir di tanganku!” ancam dokter muda itu seraya balik kanan dengan mantap dan meninggalkan pasiennya kembali merasa kesepian. Asistennya mengekori dari belakang, dan menyempatkan diri membungkuk pada Jimin kemudian menutup pintu.

Gadis yang dipanggil Rara itu menjajari langkah dokternya. “Seonsaeng-nim, kau ada jadwal? Kenapa tidak bilang padaku? Kalau aku tahu permasalahannya, mungkin saja aku bisa mem—”

“Kau hanya mengasisteniku di ruang operasi dan ketika berkeliling saja, Min Rara. Kali ini aku tidak bisa menyerahkannya padamu. Pasien ini sudah bertahun-tahun konsultasi denganku untuk penyakit bertumpuknya dan tidak bisa sembarangan dalam segala sesuatunya.”

“Penyakit bertumpuk?” Kening Rara mengerut, heran. “Aku tidak pernah mendengar istilah itu sebelumnya.”

“Itu istilah yang kukarang sendiri,” sahut dokter muda tersebut secara acuh, mengabaikan tawa tersedak sang asisten di sisi kanannya. “Semacam satu tubuh memilki banyak penyakit. Dia sudah kusarankan untuk operasi mengenai penyakit kanker-nya, tapi dia bilang, dia tidak punya biaya. Hahh, aku tahu saja dia tidak mau dioperasi karena pesimis bisa sembuh.”

“Mengapa seperti itu?” tanya Rara setelah wajahnya kembali serius, mulai tertarik.

Tolehan dilayangkan oleh sang dokter yang kemudian matanya memicing remeh pada gadis kurus itu. “Penyakit kanker-nya itu diturunkan dari mendiang ayahnya, Asisten Min. Ayahnya meninggal ketika dia belum lahir karena penyakit yang sama, itulah kenapa dia bilang dia tidak bisa menikah karena takut meninggalkan wanita yang dicintainya. Apalagi, jika memiliki anak, anaknya juga akan memiliki penyakit yang sama seperti dia. Dan dia juga tidak mau operasi karena kulitnya kelewat sensitif. Jadi selama ini, aku hanya menyarankan obat pereda sakit dan juga untuk jaga-jaga, melakukan kemoter—tunggu, kenapa aku tiba-tiba membicarakan hal ini padamu? Tidak seharusnya kau mendengarnya; ini rahasia antara dokter dan pasiennya!”

“Aku juga tidak meminta penjelasan selebar itu, Kim Taehyung Euisa-nim!” balas Min Rara cuek seraya menatap mata dokternya dan lantas menggulir bola matanya ke bawah. Kaki-kaki kurusnya kembali melangkah dengan santai saat ‘dokter labil’ itu kembali berjalan tanpa memedulikan bahwa ia baru saja dibantah oleh bawahannya.

Dokter muda bernama Kim Taehyung itu memang seperti itu. Menyebalkan. Tetapi Min Rara berhutang banyak padanya. Kalau bukan karena dirinya, mungkin Rara sekarang masih jadi pegawai magang rumah sakit itu. Kalau bukan karena pribadinya yang suka bicara selicin belut, barangkali Rara tidak akan menjadi seseorang yang berani mengungguli perkataan orang lain—seperti di masa lalu. Bekerja bersama Taehyung membuat Rara berubah banyak, terlebih pada perkembangan kepribadiannya dimana sekarang ia memiliki sediki kepercayaan diri terhadap kemampuannya.

Bekerja selama setengah tahun bersama Kim Taehyung membuatnya menjadi berbeda dari Min Rara di bertahun-tahun lalu, di masa yang telah melata.

Lengkungan oposisi kurva pelangi tercetak di bibir kecil Rara. Tangannya mendekap papan berjalan di dadanya. Tanpa sadar kakinya melangkah, terus mengekori langkah Taehyung yang semakin cepat setiap detiknya. Kendati jarum detik konstan bertransisi dengan irama yang sehati, tetapi jantung Rara tidak berdetak selayaknya biasanya.

Dalam ketenangan senyum di paras ayunya, terselip kegelisahan yang terpeta dengan goresan tipis di sana.

Hei, setelah menaruh catatan di mejaku, kau temani pasien perempuan yang kemarin kehilangan bayinya itu, ya. Ini perintah.”

Pintu berpelitur cokelat mengilap terbuka, menampilkan segala objek yang ada di baliknya. Seorang lelaki berdiri dari kursinya. Tak ayal sosoknya memantul pada kedua cermin jernih di mata hitam Rara. Mata berhiaskan intan kelam gadis itu membulat menatap refleksi nyata di depan mata. Membuat sistem respirasinya bak tersendat. Dia … yah, itu adalah dia. Seorang pria dengan manik cokelat yang masih tersimpan rapi dalam memori, kendati sosoknya telah jauh tertinggal pada titik awal tempatnya memacu langkah. Walau mungkin saja eksistensinya telah berdebu di ruang hati terdalam.

Ya, seandainya saja pria kurus nan pucat itu bukanlah dirinya—

Min Rara menelan ludah di saat matanya tak mampu untuk sekadar mengerjap saja.

—dan sayangnya itu adalah ‘dia’.

“Kenapa? Kau pernah mengenal gadis ini, Kook?” Taehyung bertanya tidak mengerti dari kursinya, matanya menatap heran pada dua sosok manusia berbeda jenis tengah saling melempar tatap dari spot tempat mereka berdiri masing-masing; dan dalam keheningan. “Setahuku hanya ada satu orang gadis yang pernah kaukenal dan kauceritakan padaku, ‘kan? Gadis yang kaupikirkan lebih dari penyakitmu sendiri? Tidak mungkin kau mau repot-repot mengingat orang kalau itu bukan dia.”

Angin sendu yang datang dari ventilasi ruang kerja Taehyung menerpa wajah dua di antara tiga insan di sana. Lelaki berjulukan ‘dokter labil’ itu masih tidak mengerti apa yang salah dari mereka berdua. Tapi dari sorot mata keduanya, tampaknya, tanpa perlu diungkapkan dengan deretan kata yang membentuk kalimat aneh dari mulutnya pun ia sudah mengerti apa yang terjadi.

Pelan sekali embusan napas terdengar. Seperti sebuah tanaman sekarat yang nyaris tumbang terkena kecup angin musim gugur. Kelopak tirai bertahtakan permata cokelat pemuda pucat itu mengerjap dan fokusnya kembali berporos pada satu-satunya makhluk wanita dalam ruangan.

“Ya, Kim Euisa-nim. Kurasa, aku memang pernah mengenalnya; itulah kenapa aku masih mengingatnya sampai sekarang.”

.

.

.

.

Dinginnya tiupan napas musim dingin yang membekas di badan kurusnya tak Rara hiraukan sama sekali. Ia memeluk lengannya sendiri, lalu menggigiti bibirnya yang mulai memucat. Setelah sekian kali menanti jawaban dan tak mendapatkannya, tangannya tak bisa untuk tak mengetuk daun pintu warna krem itu berkali-kali; terdengar tidak sabar.

Rambutnya yang dengan sengaja digerai untuk menambah intensitas kehangatan pada tubuh bagian atasnya telah menyibak karena ia mulai menggigil.

Tidak menyerah, dan ia akan terus berada di sana.

‘Dasar gadis bodoh! Apa yang kaulakukan selama ini dengan diam saja? Dia sudah menahan perasaannya demi melindungimu—karena kalau tidak, mungkin akan dengan egoisnya dia menikahimu sejak lama dan membiarkanmu gila karena kehilangan dia. Cih! Jika saja aku tahu kalau ‘orang itu’ adalah kau, sudah barang tentu tidak akan seperti ini kejadiannya. Cepat pergi dan kejar dia, genggam tangannya, sebelum kau benar-benar kehilangan dia untuk selamanya. Dan jika itu terjadi, maka selain memecatmu aku juga akan membunuhmu, Asisten Min!’

Terngiang-ngiang dalam ruang dengarnya, sebuah suara yang terekam sejak tiga hari lalu—yang juga menyebabkannya harus bolos kerja sampai dengan hari ini. Taehyung menyemburkan amarah kepadanya, mengatainya bodoh dan—kalau saja ia bukan seorang wanita—mungkin Taehyung tak akan ragu untuk memukul kepalanya. Setelah pertemuan tak sengaja—atau mungkin suratan takdir telah menggoreskan tintanya sedemikian rupa?—di ruangan dokternya dua minggu lalu, hal yang Rara lakukan adalah berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa. Ia tidak ingin mengingat lelaki itu lagi, mengingat cinta dan rasa sakitnya tatkala harus merasakan yang namanya ‘diusir’ di saat pertama lelaki pemilik hatinya itu berkonversasi dengannya.

Min Rara sudah berusaha untuk terus melupakannya. Sampai akhirnya ia pun turut jua melupakan sebuah kenyataan bahwa pasien yang dimaksudkan oleh Taehyung adalah Jeon Jungkook—cinta pertamanya, lelaki pertama yang memiliki hatinya, sosok yang merebut seluruh hati dan pikirannya, dan juga insan pertama yang membuatnya merasakan sebuah perasaan hancur karena cinta yang tak bersambut. Ya, kenyataannya, Rara telah menanamkan keyakinan bahwa sejak dulu Jungkook memang tak pernah mencintainya. Sayangnya, ia telah salah.

Dan sekarang, ia salah lagi. Karena setelah berhasil mengumpulkan kesadaran pikirnya; untuk menyadari bahwa alasan Jungkook menolaknya adalah guna melindunginya—melindungi hatinya, ia justru tidak datang. Gadis itu mengabaikan rasa sakit terus merongrong dalam jiwanya yang tertekan oleh beban teramat berat. Rara hanya takut, bila ia bertemu dengannya lagi, maka ia akan kembali pada Min Rara tujuh tahun lalu; yang lugu, yang mudah menangis, yang memiliki banyak rasa iba dan tak sanggup berdiri dengan kepercayaan diri. Ia takut pertemuannya dengan Jungkook menjelang detik-detik terakhirnya menghirup napas di dunia, akan membuatnya kembali menjadi Rara yang lemah. Sampai akhirnya, teguran Kim Taehyung berhasil menyadarkannya, bahwa selemah apa pun, ia tetap harus ada di sisinya, menguatkannya, dan merasakan detak jantung terakhirnya sebelum pemuda itu benar-benar ‘pergi’.

Maka di sinilah Min Rara sekarang, berdiri sendiri memeluk kesunyian yang menyapa di ujung pandang. Menunggu saat dimana pintu itu terbuka dan menampilkan sesosok pemuda dengan balutan pakaian kedodoran, bibir pucat membiru, kepala tanpa surai cokelat khasnya, dan duduk di atas kursi roda sembari memutar kenop pintu apartemen sederhananya.

“Rara-ssi?”

Mata Rara merebak basah ketika ia langsung menerobos masuk seraya menerjang lelaki itu untuk didekapnya. Ia tumpahkan seluruh air matanya di bahu ringkih pemuda bermarga Jeon. Begitu terlepas, dan mata basahnya berbenturan dengan mata sayu—namun masih konstan memikat—Jungkook, tangannya terangkat dan memukul pelan dada Jungkook; pelan, kendati dilakukannya berulang-ulang.

“Kau jahat! Kau jahat! Kenapa kau merahasiakannya dariku selama ini? Kenapa kau tidak pernah muncul dan baru datang setelah kau akan meninggalkanku? Kenapa kau tidak memintaku untuk menjaga dan merawatmu? Kenapa?!!”

Dua buah tangan kuyu mencekal pergelangan tangan Rara yang terus bertahan untuk memukul-mukulnya. Lelaki itu masih tampan, walau sedikit lebih mirip dengan vampir yang sedang menyamar di antara kerumunan manusia berdarah istimewa—menahan namun tak dapat berbuat apa-apa. Saat jemari itu berhasil menyelimuti tangan si gadis dan menghentikan pergerakannya, satu lengkung senyuman tercipta.

‘Senyuman itu … sangat indah. Akankah ini adalah terakhir kalinya aku melihat senyuman itu di wajah Jungkook? Tidak bisakah aku menyaksikannya sedikit lebih lama? Aku merindukannya—sangat rindu. Dan tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar.’

“Jangan menangis,” pinta lelaki itu dengan suara tenornya yang telah melemah. Senyumnya masih terpatri di sana, kendati kesenduan masih mengentali air mukanya.  “Aku tidak ingin kau menangis terlalu banyak.”

“Bodoh!” kata Rara yang masih berjongkok di hadapan kursi roda Jungkook.

Dua ibu jari Jungkook ia gerakkan untuk mengusap aliran pola absrak yang menghias pipi mulus Rara. Setelahnya, satu telapak tangan digunakannya untuk mengelus surai kelam gadis itu yang selalu tampak indah bila bertemu pancaran mentari di siang hari pada musim panas; Jungkook menghitung sebarapa banyak keindahan itu tetap tersemat di sana. Ini adalah pertama kalinya mereka berinteraksi secara intim—selain daripada kebaikan-kebaikan Rara di masa lalu yang selalu mengusapkan cairan antiseptik pada luka di wajah Jungkook akibat pembulian yang diterimanya.

Senyumya tidak semelengkung pada awalnya, namun ketulusan yang terpancar bersamaan dengan kesenduan pada dua bening matanya tetaplah bertahan di tempat.

 “Waktuku tidak banyak, itu bisa nanti, atau esok, atau lusa … atau mungkin saat ini—”

“Jangan bicara begitu, Jungkook! Aku tidak mau dengar—”

“—dan yang kuinginkan adalah kau tidak perlu tahu hal ini.” Lelaki yang kini berkepala pelontos itu memotong perkataan gadis di hadapan, sengaja tak memberinya kesempatan untuk bicara karena ia tahu bahwa kata-katanya hanya akan menyakiti gadis itu sendiri; karena ia tahu bahwa ia tidak mungkin akan bertahan untuk tetap berada di bawah langit yang sama—bersamanya. “Mungkin akan lebih baik jika kau membenciku. Aku tahu sesakit apa rasanya kehilangan. Ayahku pergi di saat aku belum menginjakkan kakiku pada bumi ini dan melihat terangnya matahari. Ibuku meninggal tidak lama setelah aku lulus dari kuliah. Aku tahu rasanya akan sesakit itu—dan aku tidak ingin kau juga merasakannya, Lara-ya.”

Dari satu yang menggenang hingga menjadi banyak dan menganaksungai, pada akhirnya air mata Rara tumpah kembali bak air bah menjebol bendungan. Ia takut mendengar kenyataan tentang sakitnya kehilangan, perihnya ditinggal untuk selamanya. Tetapi ia lebih merasa tertusuk dan terluka setelah mendengar nama kecil yang tidak pernah digunakan lelaki itu untuk menyebut namanya. Hanya satu kali Jungkook memanggilnya dan itupun menggunakan surfiks cukup formal meski kenyataannya mereka seumuran dan ada di angkatan yang sama semasa mengenyam pendidikan menengah atas.

Satu panggilan kecil yang Jungkook sematkan barusan—berdetik-detik lalu—adalah panggilan kesayangan yang dipakai oleh ibu dan ayah Rara. Selama ini, tidak ada orang lain yang memanggilnya menggunakan nama itu—Lara—dan kini Jungkook dengan impulsifnya melakukan hal itu, menyebut dengan bibir pucatnya.

Na geureon geon bureojima,” ujar Rara menggeleng, setengah memohon yang ditanggap dengan wajah damai sosok kurus di kursi roda. Kedua tangan hangatnya telah mengklaim dua tangan dingin Jungkook untuk digenggamnya—seakan dengan itu ia mampu menyalurkan kehangatan yang dimilikinya. “Kita tidak pernah dekat, tidak pernah saling bicara selama ini. Sekarang, hanya satu hari saja, bisakah aku menggenggam tanganmu? Dan mari kita jangan berpikir hal-hal yang menyakitkan.”

Dua pasang mata berbeda warna bertemu di udara. Tidak lagi ada suara sampai akhirnya anggukan Jungkook menjadi jawaban.

“Jika kau ingin pergi, Jungkook, pergilah. Tapi sebelum kau benar-benar pergi, dashi hanbeon anajwo, jebal ….”

Dan tanpa perlu menunggu dua kali pinta dari bibir yang telah bergetar menahan perih di hati, lelaki itu pun memeluk gadis yang mencintainya—dan diam-diam dicintainya—dengan penuh erat yang mungkin saja mampu membuatnya merasa bahagia di saat terakhirnya yang bisa tak terduga.

“Terimakasih telah mencintaku, Min Rara. Aku … aku—khhh juga … sangat … sangat … mencintaimu.”

Ketika hembus angin musim dingin telah berhenti menyiksa kulit sensitif Rara, dan ketika sisa-sisa kehangatan Jungkook telah berpindah pada si gadis kendati hanya melalui dua pasang tangan yang saling melingkar, ketika pada akhirnya dua tangan bersusulan terkulai, saat itulah Min Rara pada akhirnya mengerti … bahwa ‘orang itu’ telah menuju kepada kedamaian yang abadi.

.

.

.

.

Finale (6 –8 Januari 2017)
Recommended Songs:
~ V & Jin (BTS) – Even If I Die, It’s You

~ Yoo Sung Eun – I Love You

~ Astro – Growing Pains
[Kenapa lagu itu? Karena tiga lagu itu yang kuputar saat mengetik ff ini hehehe] 

Tinggalkan komentar